Senin, 29 September 2014

Aku sering jadi apa saja.
Jadi musim panas yang kadang suka kamu benci datangnya. Jadi musim dingin yang kadang suka buatmu risih dengan dinginnya.
Bahkan aku jadi hujan, mengguyur semestamu dengan apa-apa saja yang aku punya. Entah bahagia atau duka. Aku suka jadi apa saja, jadi segala yang ada dalam semestamu.
Aku selalu ingin berbagi segala, entah perkara selengkung senyum atau malah mata air yang terjun bebas ke meronanya pipi. Yang pasti aku mau itu denganmu.
Aku taruh percaya hati-hati pada keyakinanku atasmu. Aku taruh setia dalam-dalam pada harapku yang penuh kamu.
Jangan sesekali kamu coba buat retak, dengan tingkah pengabaianmu untuk segala peduliku.

Jangan sesekali buat meledak, segala takkan kembali utuh kalau sudah jatuh.

Minggu, 28 September 2014

Perjalanan panjang yang jauh dari pulang. Langkah kaki yang diburu rindu yang buat tak tenang.
Pertemuan sebelum senja. Penuh sendu walau tanpa airmata. Ada hati yang pernah kupatahkan lebih hancur dari tiga katanya. Kuulangi sekali lagi temu yang mungkin mampu ubah segala. Tapi takkan kuulangi sayat nadimu pelan-pelan lagi kali ini, aku bawa cinta yang kamu mau. Dengan banyak cita yang sudah kita aminkan bersama.

Tuhan maha baik, diberinya kesempatan jaga percayamu sekali lagi sampai nanti tik tok arloji tak jadi ada makna. Bersamamu kutak mau ada macam apapun jenis waktu.

Jakarta, 2014.

Minggu, 14 September 2014

Aku punya banyak sekali hutang pelukan, kubawa serta kali ini dengan kidung penuh tanpa rapuh. Kubersiap melipat ribuan kilometer jarak untuk sampai di rentang lenganmu. Rela jatuh dan bunuh satu-satu rindu yang menjadikanku ibu. Berhari tempuh sepi tanpa bunyi tapi mencaci diri karna masih kalah ditelanjangi jarak dan waktu.
Kali ini tak lagi terjadi, setidaknya sampai malam berikutnya tak ada kamu di sisi.


Soetta, 2014
Ribuan kilometer sudah kulipat satu kemarin, lebih dari sejengkal jarak kita. Lupa sejenak sampai waktu kamu akan pulang, setidaknya aku sudah datang.
Sayang, jangan sampai kalah dengan jarak bedebah yang sedang menari sekarang.
Kemarin mereka sempat kita tertawai jelang senja dengan ciuman para pendosa yang malah kita ulang.
Kupikir Tuhan tahu, bahwa cintaku benar kini satu. Begitumu pun kan? Jangan lelah dengan jarak yang kekar dan temu yang sukar.
Percayalah, sabar kita akan terbayar. Tenang.


Denpasar, 2014.

Minggu, 06 Juli 2014

Terserah Mau Kau Beri Judul Apa

“Tuhan sudah menyiapkan bingkisan kepada mereka yang meninggalkan. Dan entah di bagian mana, Tuhan pun sedang siapkan parsel besar kepada sesiapa yang merelakan”
Aku pernah menulis ini entah berapa ratusan hari lalu. Ketika aku belum juga mampu berhenti merindu seseorang yang lekat dengan pengabaiannya. Tuhan lalu beri aku seseorang yang menepuk segala sihir itu. Dan ia pun yang buat aku berjalan lebih jauh sesuai mauku. Ia tak pernah punya ingin untuk pergi, hanya semesta menginginkan dia berlalu.
Mungkin Tuhan kini beri aku seorang dengan dada penuh sabar. Entah sudah berapa kali aku patahkan hatinya. Hiraukan kata cinta yang pernah ia ucap, hiraukan tiap kata yang kukira hanya buaian penuh bualan. Semoga kini kusudah benar dalam genggamannya. Bersandar dalam-dalam di dadanya yang penuh tabah. Menggenggam tangan benar yang memang sungguh-sungguh menjaga. Diperjuangkan sebagaimana ku memperjuangkan.


Terima kasih Tuhan, untuk segala perjalanan yang menyadarkan.

Selasa, 24 Juni 2014

You Can Call Me Bastard

Teruntuk yang pernah kusebut kebanggaan.
Hanya ada tiga hal yang ingin aku sampaikan padamu. Tunggu.
Pertama, perihal kamu yang selalu kubanggakan, kamu tetap jadi kebanggaan meski sekarang tidak. Perkara-perkara yang aku anggap sepele ternyata sekarang malah mengiris nadiku perlahan. Aku tak mau itu menerus, lalu aku mati dalam kelelahan. Terima kasih sudah beri segala semua mau dan mampumu. Dan maaf kutak bisa beri segala dan semua mau dan mampuku. Semua sudah satu garis sebelum akhirnya DUAR! meledak! Kepalaku banyak sekali hal yang malah balik menuntutku sekarang. Soal kejenuhan yang kamu katakan entah berapa puluh hari lalu, entah kamu sengaja atau bahkan tak sengaja mengatakannya. Hati bahkan logika bertengkar saat itu, dan jatuh pada satu keputusan bahwa aku mengalah, menahan amarah jauh paling bawah. Sekarang? Tetap saja aku seorang yang tak mau disepelekan. Soal amarahmu pun tempo hari, puncak amarahku pun. Percaya kan bahwa kepala dan egoku lebih keras dari segala karang yang pernah kita lihat bersama dulu?
Kedua, perihal kamu yang selalu kubanggakan, kamu tetap jadi kebanggaan meski sekarang tidak. Perkara diamku yang mungkin kamu tak terima. Amarahku sudah redam, kusiram prasangka paling dingin yang pernah ada, dan itu hasilnya. Diamku agar amarahku tak lagi buncah. Segala tuduhan yang dulu kamu beri, entah sengaja atau tidak kamu mengatakannya. Setia itu sakral, bagiku. Kalau kamu menyuruhku pergi tanpa kupikir dua kali aku pergi, perkara mencari pasar malam lain yang kamu pun setuju aku melakukannya kemudiaan kamu datang dengan belati tuduhan paling tajam. Percaya kan bahwa aku dan hatiku bukan seonggok barang mainan yang mampu kamu simpan di gudang kalau tak perlu?
Dan terakhir, perihal yang mesti kamu tahu, bahwa cinta dan benci itu hanya ada satu garis tipis pembatasnya. Aku amat mencintaimu dulu, dan sekarang aku ada tepat di satu garis pembatas itu. aku tak benci, hanya mungkin enggan untuk kembali ke posisi awal ku ada.


Sincerely, Me.

Kamis, 10 April 2014

Selasa, 01 April 2014

0204

Tepat hari ini tangisku buat berisik satu ruangan
Lahir dari seorang bayi merah, yang baru saja ibu tukar perih dengan bahagia meriah
Entah terlantun harapan apa dalam hati ibu, doa baik tentu

Terhitung sudah dua puluh satu tahun dari tahun pertama, aku sudah menjejak banyak cerita
Entah tentang cinta, dewasa bahkan cita

Ketahuilah ayah ibu, aku bahagia sekali
Mesti tanpa terompet sana-sini
Tanpa suara gelas yang saling beradu silih berganti
Tanpa ucapan selamat darimu pun
Aku tahu ada selamat yang tak bersuara di dalam hatimu, perkara anak nakalmu yang makin susah diberitahu

Maafkan aku ayah ibu, perkara aku yang suka depankan amarah di hadapmu
Perkara aku yang selalu menyusahkanmu
Perkara aku yang belum mampu balas budi barang satu

Tak mudah bagiku tertawakan waktu yang lebih cepat habisi perlahan sisa umurku
Tak mudah bagiku menyeret langkah tanpa restumu
Tak mudah bagiku tersenyum manis pada matahari siang yang angkuh tanpa doamu

Semoga banyak berkah yang terberkati, segala baik yang tak terbalik. Aku selalu mengaminkan doa baik yang disemogakan.
Semoga bahagiaku bukan kembang api. Duar sekali lalu mati.

Minggu, 30 Maret 2014

#Fiksi

Hidup di bawah gemerlap lampu kota, di pinggiran jalan yang sebelumnya tak pernah aku pikir akan begini hidupku. Penjaja selangkangan, wanita mana yang mau sepertiku. Tukar beberapa desah dengan uang ratusan ribu yang mereka punya. Usiaku tak lagi belia seperti kebanyakan wanita di sini. Mereka masih muda, tanpa pupur dan gincu yang berlebih sebenarnya mereka tambah lebih cantik.
Aku tak tahu apa yang mereka fikirkan hingga akhirnya jatuh atau memang rela jatuh dalam dunia ini. Ada beberapa dari mereka yang memang terjebak jatuh, diajak mucikari yang berwajah peri. Mereka diiming-imingi kerja enak di kota, bukan di bawah lampu kota. Mereka dijanjikan akan kerja di kantor bukan kerja sambil buka kolor. Berbeda dengan aku yang memang harus jatuh dalam dunia ini, desakan ekonomi yang lebih gila dari desahan para pencari kesenangan selangkangan.
Anak dua dengan suami buaya yang sudah malas sekali aku fikirkan keberadaannya, terakhir aku melihatnya di daerahku mencari nafkah. Ia kurus, tangan sebelah kanan menggenggam botol yang ia genggam lebih erat daripada menggenggam kepercayaanku dulu. Ia pergi dengan gadis kaya usia jauh di bawahnya, sudahlah mau ia mati atau hidup pun bukan lagi urusanku.
Jakarta, aku sudah buntu sekali mau kemana bersama kedua anakku. Yang pertama, sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, sedangkan yang kedua masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku tak mau mereka tahu apa pekerjaanku, karna aku takut ia malu dengan apa-apa yang ada padaku. “Ibu jadi buruh pabrik malam, nak” begitu tiap kali mereka bertanya mengapa aku keluar rumah ketika kantuk merajai mata mereka, dan pulang ketika mereka sudah puas tidur semalaman.
Usiaku sudah tua, berkepala lima. Menjajakan diri dengan usia sesenja ini tak mudah, banyak sekali yang lebih muda dan lebih cantik dariku, yang lebih menjanjikan kepuasan ranjang yang lebih nikmat dariku. Hanya beberapa mereka yang mabuk dan sudah tak mampu menahan hasrat liar tapi kehabisan wanita muda yang ingin diajak bertukar keringat, dengan terpaksa mungkin mereka memilih jasaku. Semalam mungkin hanya tiga atau empat orang yang kulayani. Berbeda waktu pertama kali aku menjajakan diri bisa sepuluh ratusan ribu yang mampu aku kantongi setiap malam.
Entah penyakit apa yang sedang aku derita, kemaluanku sering terasa sakit ketika berhubungan badan dengan para hidung belang itu. aku tak menghiraukannya, aku lebih peduli dengan nasib masa depan kedua anakku daripada kesehatanku sendiri. Aku menahan sakitku sampai mereka menukar nikmat dengan beberapa lembar uang yang tak seberapa itu.
Akhir-akhir ini anakku yang pertama mulai melihat perbedaan tubuhku, aku semakin kurus. Aku tak pernah bercerita tentang apa yang aku rasa, tapi ia peka dengan raut yang tak lagi muda yang kupunya.
Sehabis mentari kembali datang, aku mengikuti malam yang sudah kembali pulang. Rumah yang sejak malam aku nanti, entah kenapa semalaman aku ingin segera bergegas pulang. Ragaku semakin lemah, aku sudah mulai pasrah, seandainya Tuhan memanggilku sekarang sepertinya aku belum siap, dengan segala dosa yang tak aku pikirkan sudah berapa tumpuk ketika bekerja. Aku melepas penatku di ranjang kayu usang yang sudah menemaniku pulas lelap waktu istirahat, pikiranku melayang tentang bagaimana masa depan anakku nanti kalau aku pergi. Tapi aku juga tak mampu menahan hidup berat yang sudah hampir tak mampu aku angkat. Sejenak dadaku serasa sesak, serasa ada yang mau keluar dari situ, semakin sesak dan tambah sesak. Aku lihat dua bayang yang memanggilku lekas cepat, entah siapa, kutahu anak-anakku berada di sampingku waktu itu, aku hanya mampu mendengar mereka menangis sambil berkali memanggiku.
AsshHaduala ilahailallah wa AsshHaduana muhammadurrasulullah.... Aku titip anak-anakku, aku pulang, Tuhan”

Rabu, 12 Maret 2014

Tanpa Isi

Kekasih, maaf kalau lagi-lagi aku ganggu waktu tenangmu ketika membaca ini. Pikiran yang lagi-lagi gugah rasa kantukku, ia datang tak lagi mengendap-endap dalam kepalaku. Dia serbu serang segala arah dengan prasangka-prasangka bedebah. Kata mereka memang maumu kebersamaan kita tak pakai cinta. Ah keparat sekali mereka.
Kekasih, aku sedang mencoba menanam prasangka-prasangka baik di kepala. Sudah mencoba. Tapi tetap saja hama yang entah darimana datangnya itu mengganggu sampai masa panen prasangka-prasangka itu tiba.

Sudah, abaikan saja mereka yang sedang melenggak-lenggok gembira di kepalaku. Kuberi mereka kesempatan bersenang-senang, karna aku punya satu yakin di dada bahwa kamu sendiri prasangka-prasangka baik itu, mereka tak mampu meracuni sampai situ.

Kamis, 27 Februari 2014

Perihal Kehilangan

Bukan lagi soal kesenangan bahkan bahagia yang lupa aku hitung dan kubandingkan dengan airmata yang sudah dan pernah jatuh. Kuterlalu terbawa terhanyut lebih dalam pada tawa yang angkuh. Lupa dari mana aku pernah jatuh tak ada yang merengkuh. Sebelum kedatangan seorang laki-laki sederhana yang ulurkan tangan, tak berkata aku harus bangkit tapi ia sendiri yang menuntunku bangun jangan mau lagi terjatuh mengais di bawah. Ia tak tawarkan berlian atau bahkan permata berkilau sana sini, tapi aku tetap terpesona padanya. Ia itu sinar yang paling cahaya, menurutku.
Sekarang bicara soal kehilangan. Sekali lagi aku bilang kalau selamanya tak pernah ada, izinkan aku mencintainya seterusnya. Dan harus aku iyakan bahwa tiap pertemuan sepaket dengan perpisahan. Tuhan, izinkan temu yang tak pernah aku tahu hadirnya ini tak sepaket dengan pilihan perpisahan biasanya. Amin.
---
Kekasih, kali ini aku ingin bicara denganmu. Tak perlu empat mata, karna ini kutulis dalam surat terbuka. Tak aku hitung berapa langkah yang kita lewati sepanjang kisah ini, aku tak peduli. Yang aku peduli tentang bagaimana langkah-langkah kita ini tak jadi sekadar cerita. Aku mau sisa-sisa kita tak jadi sia-sia.
Kekasih, kali ini aku ingin bicara denganmu. Perihal pahit hidup yang entah sudah terlampau jauh berapa hari ke belakang di taman kota saat itu. Bahwa hidup jatuh bahkan pahit sampai bahagia yang terpingkal itu harus disyukuri. Kamu bahagia yang sudah lama aku syukuri dari awal. Dan tentang pahit, aku takut kalau nanti akan ada luka mengangga yang bahkan waktu tak mampu jahit agar kembali rapat lalu sembuh, waktu bukan ibu yang mampu merawat luka di manapun itu ya aku tahu. Nyeri yang ngeri yang aku sendiri malas sekali membayangkan dan menerkanya sedari tadi.
Kekasih, kali ini aku ingin bicara denganmu. Demi dan atas para ciuman para pendosa. Ciuman-ciuman kita kemarin pakai cinta, bukan? Entah berapa kali harapan manis jatuh tepat di antara bibirmu. Tak ada nafsu, hanya ada rindu yang diam-diam menderu. Di antara nafas kita yang saling beradu, ada anak-anak rindu yang kutahu sudah siap lahir tanpa ibu, karna ibunya sudah jelas-jelas mati dalam ciuman-ciuman kita.
Kekasih, kali ini aku ingin bicara denganmu. Kamu tahu apa yang lagi-lagi aku risaukan dalam hati? Ketakutanku tempo hari yang sudah sedikit aku jabarkan dalam surat sebelumnya, ternyata belum juga lelah tinggal dalam kepalaku. Mereka masih saja betah tinggal di sana, malah bawa teman dan kawan-kawan ketakutan lainnya.
Kekasih, aku takut. Aku takut kita itu sia-sia nanti di sisa-sisa. Kata-katamu di malam kemarin yang katakan bahwa aku tak perlu risau, kamu tak akan meninggalkanku itu malah kini buat hati lebih perih. Ketakutan yang aku sendiri pembuatnya. Dan pikiran-pikiran racun aku pun sendiri penciptanya. Aku takut sekali kehilanganmu, kehilangan kita. Karna kamu aku jadi tak mampu mandiri. Mandiri hidupi cinta yang kita sendiri pencetusnya.
Kekasih, jalan yang kita lalui nanti tak hanya jalan lurus tanpa ada kerikil-kerikil tajam pengganggu. Bersediakah kamu tetap erat menggenggam tanganku bahkan lebih erat, dan tetap perjuangkan sampai tamat sisa bersamaku?
Perihal kehilangan. Pernah aku lukis warna dinding di kamarku dengan tinta airmata. Pernah aku tulisi langit-langit dengan sumpah serapah cinta yang aku teriaki depan wajahnya. Malah kamu datang, dan aku rela dijatuhi cinta (lagi), tersenyum manis lagi padanya. Kekasih, kamu tak akan membuatku meneriaki cinta dengan kata bedebah-bedabah yang memekik telinga, kan?
Kekasih, kalau-kalau nanti kamu lelah atau jemu berada pada satu jalur yang sama denganku, katakan. Soal kehilangan yang aku tulis di atas akan aku ganti dengan kepergian. Dan tetap kupercaya takdir Tuhan itu lebih indah dari nasib yang dulu pernah aku terka-terka.
Kekasih, aku mencintai awalan sampai akhiranmu. Semoga cinta tetap diberi imbuhan di- dan me-, selalu.

Dari,
Perempuan yang Penuh Sekali Isi Kepalanya.

Jumat, 21 Februari 2014

Ketakutanku Tempo Hari

Aku pernah terlampau jauh berjalan dalam kepala seorang Tuan arogan yang kukira pun mencintaimu. Aku pernah terlampau dalam mencintai seorang Tuan keras kepala yang kukira mampu terus tetap bersamaku. Dan sejauh apa yang kuyakini aku malah tenggelam. Tenggelam dalam ekspestasi tanpa jaminan yang buat aku bodoh-bodohi diri sendiri.
Aku takut. Terulang lagi untuk kali kedua seperti itu. Aku takut terlampau amat mencintaimu namun kamu tak begitu. Selamanya tak ada tapi seterusnya mungkin aku. Aku mau mencintaimu seterusnya. Akan jadi berlebih kalau aku katakan akan mencintaimu selamanya. Tuan murah hati yang aku cintai, kamu mau seterusnya mencintaiku pun?
Bukan karena aku meragu akan segala kata dan tiap inci sikap dan sifatmu padaku, Tuan. Aku hanya takut kehilanganmu. Aku takut tetiba kamu berhenti tak mau lagi mengenggam tanganku, memilih ke persimpangan lain untuk mengadu nasib berharap bertemu perempuan yang lebih segala.
Kita bukan anak usia sejumlah hitungan jari, kita itu tanpa ‘maukah kamu jadi pacarku?’ di awalnya. Kita beda Tuan, aku menyadari semenjak awal kita bertemu dan mulai coba menyatukan genggaman. Karena itu pun aku takut pemikiranmu beda denganku, dengan alih-alih pendapatmu A dan pendapatku B lalu kamu berlalu.
Aku takut kita hanya jadi sepenggal kata nantinya. Aku takut kita cuma jadi segelintir cerita nantinya. Ah sejak kapan aku jadi pandai menerka dan menebak-nebak takdir Tuhan di semestaku. Tuan, entah jaminan apa yang kamu beri hingga aku mampu mencintai. Yang aku tahu tak ada alasan untuk tidak mencintaimu. Sederhanamu aku suka. itu saja.
Tuan, aku tak ingin kamu banyak berjanji akan tetap bersama selamanya. Aku mau kamu mampu yakinkan aku bahwa seberapa banyak ragu membatu hajar prasangka baik satu-satu kamu tetap di sini, entah dengan alasan apapun. Aku mencintaimu sebanyak kamu mencintaiku.
Tuan, rindumu itu api dan kamu sendiri pematiknya. Aku sudah menjadikanmu satu jadi bagianku, ikut ambil andil dalam banyak bahagiaku.

Dear, will you still love me tommorow?

Love,
(Semoga Kamu Anggap) Perempuanmu

Minggu, 09 Februari 2014

Kesayangan

Mungkin bosan sekali baca surat yang lagi-lagi tertulis untuk kesayanganku. Entah aku yang punya sedikit persediaan kata atau kamu saja yang terlalu indah untuk dilebur jadi kata. Yang pasti kamu indah dalam pandanganku.
Kali ini aku datang tak bawa kidung sekeranjang, apalagi puisi barang sebatang. Tak ada. Aku tak bawa apa-apa, selain cinta yang ingin aku uapkan jadi kata dalam surat. Kata-kata pujangga yang pernah aku buat untukmu sudah habis kemarin, kutelan bulat-bulat saking bahagianya. Aku tak butuh banyak kata untuk mencintaimu.
Kekasih, kamu pun tahu ini bukan kali pertama aku jatuh cinta. Kamu pun juga. Sebelumnya kamu pernah tahu dan memang tahu aku pernah lemah di hadapan cinta, seperti bayi kecil yang ditinggal ibu. Dan selalu kamu ucap bahwa yang lalu biarlah berlalu. Aku tak mau kamu berlalu, karna kalau hari ini aku berjalan bersamamu lalu esok datang itu sudah jadi kenangan. Namanya lalu, bukan?
Kekasih, aku ini hanya perempuan kecil, yang kadang butuh perlindungan dan penjagaan bak anak umur lima tahun yang masih digandeng takut tersandung jalannya. Tapi aku bukan lagi perempuan lemah yang harus diperhatikan tiap detik bak balita yang langsung sakit kalau dijatuhi hujan rintik. Sayangi aku, sebagaimana aku, perempuan yang tak ada lebih, malah banyak kurang.
Kekasih, aku suka sekali kehujanan berdua denganmu. Aku suka makan sepiring berdua dengan pelengkap tawa sesudahnya. Aku suka tiap kata petuahmu yang selalu aku ingat tak mau lupa. Aku suka dengar ceritamu dan kutahu kamu punya banyak sekali cerita seru yang tak pernah kuingin terlewat mendengarnya. Aku suka senyummu, jangan lupa bawa senyum manismu juga kalau nanti bertemu aku, ya.
Kekasih, satu waktu, satu dari mereka pernah bertanya apa yang aku lihat padamu sampai bisa mencintaimu. Aku jawab apa yang tak mereka lihat padamu. Sebelum kamu katakan mataku indah. Aku lebih dulu pernah terhanyut tersesat dalam-dalam pada matamu. Aku senang sekali berkaca di matamu, tapi aku tak suka berkaca pada matamu yang berkaca-kaca. Ingatanmu ada apa saja? Aku malah ingin sekali tersesat dalam ingatanmu, hingga kamu tak punya cara untuk tak mengingatku.
Kekasih, kesayanganku. Aku takut sekali terlalu menyayangimu. Apalagi ketika ketakutan-ketakutan yang menyerangku pagi kemarin. Lain kali aku ceritakan apa yang aku takuti, hari ini aku hanya mau bicara suka saja.
Kekasih, sudah berapa kali aku katakan bahwa aku mencintaimu? Sekali lagi ya, aku mencintaimu.
Kekasih, terima kasih sudah mencintaiku.


Salam cinta,

Perempuan yang Sedang Mencintaimu

Sabtu, 08 Februari 2014

Tuan Arogan yang Saya Hormati


Surat ini kubuat bukan karna lagi-lagi aku merindumu, hanya teringat bahwa aku belum ucap terima kasih di sela pertemuan terakhir kita. Hmm maaf bukan kita, saya dan Tuan. Terima kasih untuk apa? Untuk segala, dari tawa sampai sisa, dari air mata bahkan luka. Maaf karna saya menyebut ‘aku’ di awal surat ini.
Kepada Tuan arogan yang saya hormati, bagaimana kabar Tuan hari ini? Pasti baik-baik saja dan harus baik-baik saja. Bagaimana pun hati dan hari Tuan? Sekali lagi pertanyaan yang saya buat dan jawab sendiri, pasti baik-baik saja dan harus baik-baik saja.
Kepada Tuan arogan yang saya hormati, sudah mengertikah Tuan bahwa cinta bukan lagi untuk main-main di usia Tuan yang sudah lebih beberapa tahun di atas angka dua puluh? Seharusnya Tuan lebih tahu itu dari saya. Anggap saja cerita saya dan Tuan kemarin itu hanya persinggahan sementara untuk dapat cinta baru yang lebih baik di kemudian. Tuan sudah lebih dulu mendapatkan. Saya pun sudah kali ini.
Kepada Tuan arogan yang saya hormati, kali ini saya tak akan berharap satu temu berdua dengan Tuan lagi. Kalau-kalau Tuhan mau pertemukan kita lagi, saya harap Tuan sudi perkenalkan Nona yang sekarang jadi ratu nomor satu di hati sekeras batu milik Tuan. Dan saya akan dengan senang hati perkenalkan lelaki saya, ia tak semewah Tuan tapi ia punya hati lebih megah dari milik Tuan.
Kepada Tuan arogan yang saya hormati, maaf kalau surat ini lancang tertulis. Saya perjelas lagi surat ini tertulis bukan karna saya sedang berpesta pora dengan banyak airmata seperti lalu saya sedang merindu Tuan. Apalagi karna saya sedang bercumbu mesra dengan kenangan-kenangan Tuan dulu. Tidak, Tuan. Tidak sama sekali. Sebelum ini ada belasan surat tak terkirim yang tertulis untuk Tuan, itu dulu ketika saya masih tunduk pada cinta yang saya banggakan adanya. Malah sekarang saya hanya mampu berdecap heran mengapa saya sebegitu mencintai Tuan dulu. Tuan berlimpah materi? Iya. Tuan berparas tampan? Iya. Tuan punya hati lega? Tidak. Pertanyaan terakhir pernah saya lupakan saat mencintai Tuan.
Kepada Tuan arogan yang saya hormati, sudah berapa detik dan detak yang terlewat? Sudah berapa ratus bahkan ribu jengkal yang tak terhitung lagi semenjak perpisahan pagi itu? Sudah berapa doa saya yang jadi nyata di semesta Tuan? Saya pernah enggan mencintai dan tak mau buka hati lagi setelah kepergian Tuan. Tahu? Pasti tahu dan Tuan malah makin besar kepala, saya tahu itu. Dan saya masih menutup mata soal itu dan terus berlanjut mencintai. Itu kemarin Tuan, sebelum lelaki saya menepuk pundak saya hapus segala sihir akan indah Tuan di diri saya.
Kepada Tuan arogan yang saya hormati, terima kasih atas segala. Dari tawa sampai sisa, dari air mata bahkan luka. Terima kasih sudah melepas saya. Karna itu saya ditemukan oleh seorang lelaki yang hatinya luas lega dengan banyak cinta untuk saya. Ia merangkul saya lebih hangat dari Tuan. Ia tak mirip seperti Tuan, yang sering dielu-elukan banyak pasang mata dengan baik dan lebih oleh segala. Lelaki saya sederhana, dan saya suka. Lelaki saya punya sekali banyak tulus di dadanya, dan saya cinta.
Kepada Tuan arogan yang saya hormati, maaf yang entah sudah sekian kali pernah terucap. Tentang ucapan Tuan yang katakan bahwa tak ada yang mampu terima saya yang penuh keras kepala. Lelaki saya tak pernah katakan saya keras kepala, Tuan. Katanya, perkara keras kepala itu hanya perihal menyikapi. Dan sekali lagi, Tuan kalah dengan lelaki saya. Maaf juga karna saya sudah berhenti menyebut nama Tuan di dalam rentetan doa rutin yang saya ucap, bukan karna saya tak tahu terima kasih. Doa saya untuk Tuan sudah habis menguap jadi satu bersama air mata sia-sia yang jatuh kali terakhir untuk Tuan.
Kepada Tuan arogan yang saya hormati. Jangan lupa bahagia. Rayakan tiap kebaikan yang jatuh pada Tuan, hargai tiap inci dari mereka.

Salam hormat,

Yang Tak Teringat

PS: Lelakiku kamu tetap jadi yang selalu aku ingat, jangan cemburu Tuan arogan hanya masa lalu. :*

Ralat Surat Dua Hari Lalu

Petang belum juga datang aku sudah diprotes oleh sahabatku karena surat yang aku buat dua hari kemarin membuatnya menangis tiap kali membacanya. Padahal tujuanku menulisnya untuk buat lebih kuat hatinya merajut rindu di entah berapa jengkal jarak ia dengan kekasihnya di sana.
Tak ada maksud untuk buatmu menangis atau merasa lemah didatangi rindu dungu itu berkali-kali setiap hari. Jarak bukan alasanmu lelah, sahabat. Apalagi perkara menunggu yang jelas dan aku tahu betul kamu membencinya. Kali ini bukan hanya soal perkara menunggu bukan? Bukan seperti dulu menunggu aku yang sering sekali terlambat waktu buat janji denganmu, banyak sekali jengkel dan ocehan kecil di bibirmu, bukan? Hehehe sudah, jangan lagi kamu resah menunggu orang yang aku yakin pun tahu caranya menjaga hati.
Kekasihmu pergi bukan untuk liburan atau hura-hura di sana. Menuntut ilmu agama, yang akan jadi bekalnya, bekal kalian pun malah. Kekasihmu pergi bukan untuk mencari pemandangan bidadari lain yang lebih elok atau cantik segala. Karna pasti baginya kamu adalah salah-satunya pemandangan bidadari paling cantik yang amat ia tunggu nanti di kepulangannya.
Sahabat, kalau nanti rindu datang tetaplah persilahkan masuk, jamu ia dengan segala kerendahan hatimu, katakan pada mereka bahwa seberapa banyak pasukannya datang mengoyak benteng tabah di kantung matamu, kamu tetap kuat. Taruh mereka satu-satu dalam peti mati yang kamu buat sendiri, dada kekasihmu akan jadi pemakaman rindu mati nanti.
Satu lagi, jangan kamu takut tak mampu menunggunya kembali. Jangan pedulikan berapa banyak serigala liar di luar sana yang mau ambil hatimu. Jangan ladeni para lelaki tampan tak tahu diri yang merajukmu dengan bawa seikat bunga atau bahkan segala yang kekasihmu tak punya. Kamu hanya punya satu cinta. Dan sudah kamu beri untuk kekasihmu, bukan? Jaga! Aku pun yakin kamu amat tahu bagaimana rasanya disia-siakan cinta. Dan aku pun yakin kamu tak akan melakukannya.
Apalagi yang kamu takuti, sahabat? Perkara nantinya kamu dan dia tak satu? Dan kamu anggap soal menunggu kekasihmu itu akan jadi sia-sia. Sejak kapan kamu handal menebak perihal takdir Tuhan, sahabat? Segala kemungkinan buruk hidup memang pasti ada, kan? Dan sudah berkali kubilang, hidup itu resiko. Tuhan lebih tahu soal bahagiamu lebih tahu malah dari pikiran-pikiran yang penuhi kepalamu kini. Tuhan tak akan buat rindu dan soal perkara menunggumu itu sia-sia. Tenang saja, sahabat.
Jangan lagi gusar sayang.

Peluk hangat lagi,

Sahabatmu yang Kamu Protes Dua Hari Lalu

Kamis, 06 Februari 2014

Yang Gemar Mematut Diri di Kaca Segi Empat


Yang gemar mematut diri di kaca segi empat, kamu bukan seorang pesolek tapi selalu bersikap manja berlaga kanan kiri bercermin di depan kaca segi empatmu. Kamu cantik bagi dirimu sendiri, sayang. Tenang saja, kamu pun akan jadi menarik dengan segala batasan-batasan bahkan kurangmu, bagi orang-orang yang mengagumimu.
Yang gemar mematut diri di kaca segi empat, kamu bukan seorang penikmat kerlap-kerlip warna-warni alat dandan yang perempuan lain suka tapi selalu berputar pasang segala mimik wajah sebelum pergi. Kamu cantik dan selalu jadi gadis kecil yang masih harus disisiri rambutnya oleh ibumu. Tenang saja, kamu pun akan jadi seorang yang pantas dicintai nantinya, bagi seorang lelaki yang tak berkuda seperti cerita dongeng ayahmu.
Yang gemar mematut diri di kaca segi empat, buang segala keras di kepalamu. Sisihkan egois di sisi sebelah kiri hatimu, dan perbanyak sabar berlimpah di sebelah kanan hatimu. Usia yang bukan lagi kepala satu, bertingkah seperti seorang perempuan arogan yang suka seenak jidatmu saja mesti dan harus kamu singkirkan.
Yang gemar mematut diri di kaca segi empat, bermimpilah setinggi apa yang kamu mau. Tapi tolong berhenti berlebihan menggenggam tiap harap itu. Segala cita bahkan cinta yang kamu genggam sekarang bukan tidak mungkin hanya sementara dan kamu bukan pemilik tunggalnya.
Yang gemar mematut diri di kaca segi empat, rindu memang kadang buat nafasmu sedikit dan hampir mati tercekik. Rindu itu tak berlengan, sayang, bagaimana mungkin dia mampu mencekikmu? Terlalu banyak imaji tentang rindu di semestamu. Aku tahu betul bagaimana rasa kehilangan seorang terdekat sedarah denganmu, kenyataan mungkin tak mampu kamu ubah semudah kamu berucap “BERUBAH!”, mengapa tak kamu coba ubah segala pola pikirmu tentang kehilangan? Tuhan maha baik, sayang.
Yang gemar mematut diri di kaca segi empat, jangan risaukan isi hati kekasihmu kini. Percayakan saja seluruhnya pada setia. Jangan sekali-kali lagi kamu berpikir bahwa kamu adalah karma kekasihmu pada masa lalunya. Dengan lihat sedikit banyak sifat dan sikapnya padamu, apa kamu kurang yakin dengan sebentuk cinta sebagai mas kawin pernikahan hati kalian?
Yang gemar mematut diri di kaca segi empat, dengarkan kata kekasihmu waktu kemarin, belajarlah lagi dari apa yang pernah terjadi. Kamu sudah cukup dewasa untuk mengerti tiap kata yang terlantun darinya. Segala kemungkinan-kemungkinan terburuk hidup yang sore beberapa hari lalu kalian bicarakan di taman kota masih menghantuimu tiap malam ya? Kata-katanya memang benar adanya, kan? Kamu patut memikirkannya lagi, usiamu sudah berkepala dua sekarang, April nanti akan jadi dua puluh lebih satu, dewasa sudah harus ada di pemikiranmu, sayang.
Yang gemar mematut diri di kaca segi empat, hentikan ocehanmu yang tiap kali pintamu tak terpenuhi. Sekali lagi aku tekankan kamu bukan gadis kecil yang masih main bawa-bawa boneka, sayang.
Yang gemar mematut diri di kaca segi empat, perubahanmu belum kulihat banyak, setidaknya lebih bersyukur akan hidupmu sudah pelan-pelan kamu lakukan.
Yang gemar mematut diri di kaca segi empat, selamat menikmati hidupmu kini. Berhenti hanya pikirkan hari ini, ingat bukan kata-kata pembelajaran kekasihmu “bagaimana kamu bisa syukuri nikmat besar kalau nikmat kecil saja tak kau syukuri”? Syukuri segala alur takdir Tuhan untukmu, sayang. Tetap jadi diri sendiri yang tak teracuni zaman. Dan tetap jadi seorang yang mencintai dirinya sendiri.
                              
Dari,
Saudara Kembarmu Dalam Kaca Segi Empat

Rabu, 05 Februari 2014

Kali Ini Tertulis Untuk Sahabatku

Tahun ini bukan tahun awal kamu mulai memilin kepangan rindu sendu di sepanjang kilometer jarak dengan kekasihmu. Dan kuyakin bukan kali pertama kamu rajut sabar pelan-pelan di semestamu. Kamu wanita kuat yang aku tahu, airmatamu yang tumpah ruah buncah bukan alasan untukmu jadi lemah, bukan?
Sahabat, rupa cantik yang tak wanita lain punya sudah ada di kamu semenjak lahir dari perih ibumu. Tak perlu kamu risau dengan banyak bidadari cantik lain yang ada di sekitar kekasihmu, meski ragu diam-diam menggerogoti batinmu tiap malam hadir dan perasaan gamang menyibak datang. Kamu wanita cantik yang aku tahu, semburat cemberut yang sering kamu buat tak sedikit pun tutupi manis gula pada senyummu.
Sahabat, barisan sabar dalam jiwamu pun kuyakin sudah dalam puncak tertinggi kesadaranmu. Kamu tahu ada hati yang hati-hati kamu jalani kini. Usiamu bukan lagi seperti bocah lima tahun yang doyan habisi satu-dua permen kaki, bukan juga anak remaja putih biru yang baru kenal cinta monyet. Usiamu sudah sampai angka dua puluh lebih satu, pikiran dewasa sudah bukan lagi datang lalu pergi tapi sudah menetap minta diyakini, bukan?
Sahabat, cinta bukan sekadar basa-basi dia ada dan keharusanmu untuk tetap tinggal. Tapi cinta keyakinanmu untuk ada walau dia jauh berjarak ribuan hasta dari hadapmu. Yakin yang kautiti tiap hari bukan hitungan satu-dua-tiga jemari tapi keputusan yang akan kaunikmati manis sampai pahit di akhir ceritamu nanti. Berhenti pikirkan hari ini saja, Nona.
Cintamu dan cintanya itu satu yang aku tahu. Aku bukan peramal hebat apalagi Tuhan yang menjelma serba tahu tentang segala isi hati dan akhir cintamu. Aku hanya sahabat yang punya waktu lebih banyak dari lelakimu itu kini, sedia bahu yang kalau-kalau di satu hari kamu butuh untuk lepas airmata yang kautahan sedari malam di kantung matamu.
Sahabat, ketahuilah sabar bahkan debar yang kautanam semenjak hari pertama kekasihmu pergi untuk tuntut ilmu agama itu tak akan pernah salah. Hidup itu resiko bukan? Setidaknya, setia sudah jadi pilihan paling mudah untuk bertahan. Entah akhir bahagia atau tidak yang pasti kamu akan bahagia. Dengan atau tanpa dia.
Sahabat, Tuhan bukan hanya ada di tiap untaian ayat Al-Quran yang tiap hari kamu baca. Bukan cuma ada di butiran tasbih para taat agama. Tuhan ada di dadamu, Tuhan ada dari bagaimana kamu meyakiniNya. Tuhan ada di dadamu, bukan? Cinta pun ada di barisan bawah entah ke berapa yang pasti ada, berderet serasi dengan nama lelakimu di sampingnya.
Sahabat terbaikku, Imas Qomariah. Bukan satu-dua tahun aku mengenalmu. Tiap perubahan sifat dan sikap semenjak mengenal kekasihmu aku sedikit bahkan banyak tahu, semuanya baik menurutku. Sekali lagi, setia itu pilihan paling mudah untuk bertahan. Dan kamu sudah menjalaninya dengan banyak tabah mengepul di hatimu.
Jangan lupa bahagia hari ini, yaa. Tuhan selalu jaga cinta yang setengah mati kamu jaga di sana. Jangan risaukan lelakimu. Dia baik-baik saja, nanti akan sedia bayar ribuan peluk tukar dengan rindu yang hampir berkarat di kantung saku bajumu.
 
Peluk hangat,

Dari wanita yang kaukenal dari masa putih abu-abu

Teruntuk, E.

Selamat tanggal 5, E. Semoga doa baik yang terlantun tadi pagi mengepul satu sampai cepat di ruang kerja Tuhan dan dapat pengabulan, kita seterusnya. Amin.
Kita ini memang pasangan lucu ya. Hari jadi kita pun masih berdebat, kamu dengan angka tiga dan aku lima. Sebenarnya apapun angka yang kita pilih untuk dijatuhkan tanggal jadi kita itu pasti tanggal baik. Amin.
Kekasih, sudah berapa sabar yang kamu tebar untuk ladeni kelakuan nakal atau celotehan menyebalkan dariku? Semoga simpanan sabar di dadamu berlimpah. Kalau-kalau sabarmu sudah sampai di garis terakhir batasan paling bawah, beri tahu aku. Aku mau memelukmu lebih lama dari biasanya, meski tak mengisi penuh sabarmu lagi, setidaknya aku ingin beri tahu sayangku tetap penuh sampai nanti walau sabarmu tak lagi sisa satu.
Kekasih, tetap cintai aku yang penuh dengan batasan-batasan dan banyak sekali kekurangan. Kasihi aku seperti awal kemarin cinta mulai tumbuh mekar lebih indah dari mawar putih kesukaanku ya.
Kekasih, tetap genggam jemariku saat aku mulai lelah bahkan enggan jalani segala ya. Jangan cari genggaman lain meski genggamanku masih jauh kamu raih nanti. Tetap jadikan dadaku rumah pelukmu pulang. Jangan cari pelukan lain sebelum lenganku sampai untuk merangkulmu lagi.
Kekasih, aku tahu tabahmu tak seluas tabah di hati ibumu. Dan kamu harus tahu, kamu tidak punya kuat sehebat ayahmu. Tapi kamu punya segala yang mampu kubanggakan nantinya. Tiap pesona sederhanamu yang lain tak punya. Tetap jadi dirimu sendiri, selalu pakai caramu sendiri untuk mencintaiku. Aku suka.
Kekasih, kita punya cara bertahan paling mudah, setia namanya. Kujaga hati, dan kuharap kamu pun turut menjaganya.
Kekasih, jangan lelah cintai aku setiap hari.

Salam hangat,

Yang mencintaimu

Selasa, 04 Februari 2014

Kepada Pemilik Kata yang Aku Kagumi, Zulika Citraning Wulan

Hey, ka elwa.
Perempuan manis yang kujumpai pertama kali di taman suropati #malampuisi, dengan style yang casual, bacakan puisi yang tadinya aku berharap itu puisimu. Walaupun tidak, aku tetap mengagumi.

Hari ini tema menulis surat untuk selebtwitt, dan kamu selebtwitt pilihanku. Tiap kali membaca blogmu, aku selalu tertegun diam membacanya. Terlarut dalam pada puisi-puisimu. Ah aku iri. Kepalamu penuh dengan kata ya, ka?

Terlepas dari puisi-puisimu, aku pun sedikit perhatikan linimasamu. Bhagavad Sambadha, kekasihmu bukan? Hihi kalian serasi sekali. Dalam kepala kalian menyenangkan sepertinya. Restu pasti ada dalam genggam kalian akhirnya.

Singkat saja surat ini ingin aku akhiri. Zulika Citraning Wulan, kamu bahkan tiap puisimu memang mengagumkan. :)

Dari,
Anggap saja pengagummu

Minggu, 02 Februari 2014

Untuk Allah yang kujadikan Tuhan

Pagi Tuhan.
Mungkin sepagi ini sudah sibuk sekali Engkau di meja kerjaMu.
Tulis takdir terbaik para hamba-hambaMu
Lihat tingkah laku kami di dunia yang segalanya titipanMu
Dengar segala doa bahkan kata yang memojokkanMu karna mereka pikir Kau tak mendengar doanya, atau buaian janji para hamba yang merayu merajuk untuk satu aminMu pengabulan doa mereka.
Ah Tuhan, maha sabar sekali Engkau. :)

Hmm sebentar, aku mohon izin sedikit lagi melanjutkan surat ini. Sebentar saja.
Tuhan, tolong jaga ayahku di sana yaa. Kemarin baru saja aku ziarahi makamnya. Tak kutemui wajah tampan atau badan tegap bersama senyum paling manis milik ayahku, hanya sebuah nisan bernamakan namanya. Rindu malah makin mencekik, Tuhan. Aku lemah sekali meladeni rindu malah jadi dungu. Aku amat merindu ayahku, amat merindu. Aku titip ayah di surgaMu yaa Tuhan.

Tuhan,
Segala puji kuhaturkan padaMu
Syukurku atas semua nikmatMu
Diberkahi ayah sepertinya, ibu dengan penuh sabar di dadanya, teman menyenangkan, orang-orang kesayangan, sedih bersama bahagia yang datang beriringan
AnugerahMu tumpah ruah di semestaku.
Terima kasih.

Dari,
Salah satu hambaMu

Sabtu, 01 Februari 2014

Teruntuk Ayah yang Telah Damai di SurgaNya

Pertama kali, aku mau minta waktu sebentar untuk sekadar membagi tanya pada Tuhanku, pun Tuhan Ayahku. Boleh? Semoga dipersilahkan. Tuhan, maaf jika aku menganggu sebentar waktuMu yang kutahu banyak sekali doa yang menunggu pengabulan di meja kerjaMu. Aku minta izin titip Ayah yang padahal itu adalah milikMu, aku amat menyayangi entah semasa hidup atau sekarang sudah bersandar damai di surgaMu. Mohon penjagaan terbaik di sana, Tuhan. Terima kasih waktunya.
Ayah, apa kabar? Baik-baik saja bukan di sana? Aku titip surat ini pada pos cinta yang aku tahu mana mungkin sampai rumahmu di surga sana. Setidaknya aku sedikit mampu luapkan rindu yang menggebu setelah terakhir kau harus diurus anakmu yang juga saudara tiriku dan tinggal di Bogor sana. Sampai terakhir kau menghela nafas terakhir atau bahkan melihatmu kali terakhir berbalut pakaian putih terakhir pun aku tak tahu.
Ayah, kau menyayangiku, kan? Pasti sangat menyayangiku, aku yakin itu. Dirawat, dimanja sampai kelas 3 SMP itu amat berat dan bukan jalan lurus tanpa bebatuan saja yang sudah kau lewati bersama ibuku. Kau hebat, memilih istri ibuku yang banyak sekali sabar tumbuh rindang di dadanya. Meladeni keras kepalaku yang melebihi keras kepalamu, mungkin. Aku dididik jadi anak yang kuat sampai saat ini.
Ayah, kau bahagia tidak punya anak seperti aku? Entah, aku tak tahu jawabannya. Setidaknya aku tahu kau sangat mencintaiku. Memanjakan segala pintaku, segala rengek bocah dari nakalnya ragaku. Kau belum sempat lihat aku lulus SMP, SMA, bahkan lulus Diploma 3. Bangga tidak, yah? Seandainya bahagiaku mampu aku bungkus kado berpita merah jambu pasti sudah aku hadiahi itu untukmu ayah, kubawa serta nanti saat aku berkunjung lagi ke makammu.
Ayah, 3 hari lagi tepat sudah 8 tahun 3 bulan kau pergi. Betah sekali kau di sana.
Ayah, Tuhan amat baik bukan? Mata air mana saja yang sudah kau cicipi di sana? Ada berapa bidadari yang menemanimu setiap hari? Aku yakin kalau ibu tahu ia pasti cemburu sekali.
Ayah, kalau-kalau kau ada waktu aku minta satu pinta. Coba sekali datang ke dalam mimpi yang seakan nyata, memelukku lagi. Sekaligus mohon waktu yang lebih lama pada Tuhan, agar rindu sesak di dadaku sedikit terobati, meski sekadar mimpi. Aku sangat berterima kasih kalau-kalau kau sudi.
Ayah, aku amat sangat merindumu. Ada yang lebih keras dari sikapmu dulu padaku, tangis diam dengan airmata paling deras itu ada setelah kepergianmu. Kau bukan hanya pergi, tapi juga hilang.
Ayah, gadis kecilmu ini tetap jadi gadis kecilmu dulu. Dengan banyak rayuan manja, dengan banyak rengekan pinta di bibirnya.
Ketahuilah ayah, aku simpan rapi rindu ini, aku bingkai banyak cerita yang akan aku ceritakan nanti saat Tuhan menjatuhkan amin pada permintaan temuku denganmu.
Ayah. Aku sangat merindumu. Baik-baik di sana, yaa.


Tertanda,

Gadis Kecilmu Dengan Banyak Rindu di Dadanya.

Jumat, 31 Januari 2014

Kepada Hati yang Telah Kujatuhi Cinta

Entah di hitungan ke berapa kusebut ini cinta. Menepikan hati untuk lagi-lagi coba mencintai. Berhenti tarikan tarian sunyi yang tiap hari kunikmati tiap lekuk geraknya. Dan entah di detik ke berapa kunamai ini cinta. Saat banyak yang indah namun tatapku tertuju padamu. Saat banyak yang merajuk, aku tetap memilihmu.
Aku tak mau sebut kamu segalanya. Cukup sesuatu. Aku mencintaimu, tak mampu selamanya, hanya seterusnya. Cukup?
Aku bukan penyair handal yang mampu tuliskan banyak aksara indah untuk jadikanmu tema dari tiap puisi. Aku bukan seorang romantis seperti katamu, aku hanya manusia yang mengasihimu dengan banyak simpanan tulus di dada.
Satu, dua bahkan berbulan-bulan kupernah dicampakkan cinta dan terombang-ambing dalam dilema, siakan banyak airmata. Aku malah tertawa sekarang mengingat betapa bodoh aku diperbudak cinta. Cintamu tak akan membodohiku pun, bukan?
Kamu hadir, entah lewat pintu mana. Yang pasti kamu berhasil buka pintu yang pernah rapat-rapat aku kunci, dan entah aku buang kemana kuncinya. Kamu menemukannya, dimana? Apa kamu mampu melihat sosok yang sedang kamu lihat ini kesepian? Lalu berminat beri warna agar tak lagi abu-abu? Atau kamu pun bosan dengan segala basa-basi cinta yang jadi alasanmu sekian lama sendiri?
Terima kasih. Apapun alasannya, yang pasti aku selalu bersyukur atas segala sisa dan isimu. Dan entah puji Tuhan apa lagi yang harus kuucap untuk itu.
Aku mencintaimu, seterusnya. Harapku pun kamu begitu.

Salam,

Halimah

Kamis, 16 Januari 2014

Segala Kamu

Aku sudah jadi pendoa sebelum kedatanganmu
Lebih banyak ucap semoga diakhiri amin setelahnya

Aku lupa bersyukur... lebih bersyukur atas segala
Hiraukan kata terima kasih untuk semua nikmatNya

Kehadiranmu merubahnya
Kau ajari aku lebih banyak bersyukur
Dan entah puji Tuhan apalagi yang harus kuucap atas segala kamu

Kuharap banyak sabar bermekaran di dadamu
Himpunan tabah berjejer rapi di hatimu
Dan banyak cinta untukku di semestamu

Kekasih...
Jangan bosan sayangi aku dengan segala adanya aku
Aku mencintai segala isi dan sisamu

Mari jatuhkan cinta lagi