Selamat
pagi.
Kali
ini aku dikagetkan oleh rindu lagi-lagi. Berkali ketuk jendela menanti dibuka
dan dimanja lagi. maaf, kali ini tak banyak waktuku meladeni banyak keluhmu.
Tuanmu mati, dan masih belum ada pengganti, sampai kini.
Kadang
aku diam, diam-diam merindu rasanya jatuh hati. Pada jurang dalam yang ada pada
mata seseorang, berkali terpingkal tapi masih saja ia jadi alasan bahagia.
Kadang
aku gerah, gerah dengan segala cemburu yang api. Pada kisah barunya yang kukira
lebih bahagia, berkali menangis bahkan rela rapuh tapi tetap saja mencinta.
“Cinta
sialan” berkali aku teriaki cinta bahkan menghujat seenak jidat. Tapi tak
pernah sekali, hati malah bilang “Kamu saja yang mau dibodoh-bodohi cinta” Aku
tertawa.
Kunamai
itu matanya, tempat segala senyum bahagiaku berpulang.
Kunamai
itu peluknya, tempat segala resah hilang dan nyamanku datang.
Kunamai
itu cinta, dia, tempat aku jatuhkan segala harap bahkan impiku banyak kurangkai.
Aku
selalu semangati diri, mungkin bukan hari ini ia rela menjatuhkan hatinya lagi
dan melangkah kembali. Akan datang suatu hari, ia terlihat amat lelah bahkan
nyaris lemah menarik paksa langkah dengan sisa semangat yang ada, padaku, dijadikannya
aku sebagai rumah. Bukan lagi tempat singgah.
Pada
detik yang aku tunggu, dan pada detak yang aku rindu. Semoga harap yang sisa
satu dalam saku, masih sanggup sampai nanti kamu kembali dan buka lengan untuk
kedatangan tubuhku lalu siapi tempat di hati untuk kembali kutempati.
Entah
pada angka berapa nanti tik-tok jam dinding yang membeku dingin, selembar dua
lembar harap yang disapu angin. Entah pada angka berapa nanti aku menyerah,
berlutut pasrah, aku berhenti menanti.