Kamis, 28 November 2013

Pernah sepagi ini kamu nomorduakan kantuk untuk mengantarku pulang.
Tanpa keluh lalu kecup dalam kenang yang masih belum juga hilang.
Atau membiarkan pagi meninggi sendiri, dengan kita yang masih terjaga dalam mimpi.
Terbangun dan masih temukan kamu di sisi.
Aku sedang rindu dengan dua tatap kita.
Dalam mataku penuh kamu, beriringan dengan banyak doa yang terpanjat di dada, semoga seterusnya.
Sampai tiba di perismpangan nyata, kamu pergi tanpa ucap selamat tinggal terakhir kali.
Jadi bayang lalu hilang.
Terhitung dari hari di mana kamu pergi, aku terbiasa nikmati pagi sendiri lalu lelap dalam malam teralun ninabobomu dalam mimpi.
Lagi-lagi Tuhan ingatkan kehilangan, beruntungnya bukan pisah alam.
Kamu hanya pergi bukan hilang.


23 Agustus 2013

Senin, 11 November 2013

Nyaris Lelah

Selamat pagi.
Kali ini aku dikagetkan oleh rindu lagi-lagi. Berkali ketuk jendela menanti dibuka dan dimanja lagi. maaf, kali ini tak banyak waktuku meladeni banyak keluhmu. Tuanmu mati, dan masih belum ada pengganti, sampai kini.
Kadang aku diam, diam-diam merindu rasanya jatuh hati. Pada jurang dalam yang ada pada mata seseorang, berkali terpingkal tapi masih saja ia jadi alasan bahagia.
Kadang aku gerah, gerah dengan segala cemburu yang api. Pada kisah barunya yang kukira lebih bahagia, berkali menangis bahkan rela rapuh tapi tetap saja mencinta.
“Cinta sialan” berkali aku teriaki cinta bahkan menghujat seenak jidat. Tapi tak pernah sekali, hati malah bilang “Kamu saja yang mau dibodoh-bodohi cinta” Aku tertawa.
Kunamai itu matanya, tempat segala senyum bahagiaku berpulang.
Kunamai itu peluknya, tempat segala resah hilang dan nyamanku datang.
Kunamai itu cinta, dia, tempat aku jatuhkan segala harap bahkan impiku banyak kurangkai.
Aku selalu semangati diri, mungkin bukan hari ini ia rela menjatuhkan hatinya lagi dan melangkah kembali. Akan datang suatu hari, ia terlihat amat lelah bahkan nyaris lemah menarik paksa langkah dengan sisa semangat yang ada, padaku, dijadikannya aku sebagai rumah. Bukan lagi tempat singgah.
Pada detik yang aku tunggu, dan pada detak yang aku rindu. Semoga harap yang sisa satu dalam saku, masih sanggup sampai nanti kamu kembali dan buka lengan untuk kedatangan tubuhku lalu siapi tempat di hati untuk kembali kutempati.

Entah pada angka berapa nanti tik-tok jam dinding yang membeku dingin, selembar dua lembar harap yang disapu angin. Entah pada angka berapa nanti aku menyerah, berlutut pasrah, aku berhenti menanti.