Aku
menunduk. Tak menyeka airmata yang jatuh dari kantung mendung mataku lalu
tergelantung di ujung hidungku. Aku terisak, menahan tangis agar tak seluruh
pecah ruah. Tiap bulir airmata yang tumpah, di situ ada kerinduan yang tak bisa
aku bantah.
Menyusuri
tiap jalan yang selalu berhasil hadirkan kenang yang pernah ditorehkan, atau
sekadar membaca kembali pesan singkatmu, atau tersesat dalam banyak ingatan
yang penuh kamu. Bergandeng dengan rindu yang sesekali menggerutu minta
dibunuh, agar berakhir setiap pesakitannya menunggu.
Aku
bukan seorang yang kuat menahan cemburu, di persimpangan jalan lihat kamu
menggandeng tangan Nonamu. Dulu ada jemariku di sela jemarimu, sekarang berubah
tak lagi sesuai dengan cerita indahku. Kamu menemukan seorang yang jauh segala.
Aku ini upik abu, yang berharap jadi Cinderela suatu waktu. Tapi kali ini tanpa
sihir yang akan hilang tepat pukul dua belas malam.
Seandainya
mencintai semudah tiup lilin di hari lahirku. Jauh-jauh hari sudah kulakukan
sebelum merindu.
Aku
menganggap ini jeda. Yang diberi Tuhan agar aku belajar menunggu dari
kepergianmu. Entah ini jeda untuk apa, untuk mengantarkanmu kembali meski
sekian lama pergi atau untuk mengantar seorang baru yang selama ini aku cari
dalam diam beku.
Ah
Tuhan, aku tak sekuat itu berlama-lama berdiam dengan cemburu sebagai teman
sunyiku. Aku tak bisa lebih kuat menahan jatuhnya air mata melihat bahagianya
tak lagi denganku. Seandainya hilang ingatan bisa memilih apa atau siapa saja
yang ingin kulupakan, yaa seandainya saja.
Ah
seandainya kamu tahu, kamu yang masih saja lupa jalan pulang. Kapan dalam dada
jadi lapang? Tak ada rindu jalang atau kenangan yang lalu lalang. Tentang dua
sosok pria yang satu pergi yang satu hilang.
Aku
sedang berhenti melihat bahagiamu, meski sekadar dari lini masamu. Tak mau
lagi-lagi dadaku dicibir oleh rindu basi. Aku benci. Menangis lagi terlalu
pagi. Aku bosan. Mengurusi rindu sedini hari minta diurusi.
Tepat
di angka tujuh belas, rinduku tewas.
Jakarta, 19 September
2013