Sabtu, 28 Desember 2013

Teruntuk rindu

Berhenti usik kalbu yang sudah lumayan tenang tanpa kedatanganmu.
Berhenti ganggu pikiranku dengan segala rayumu ingin cepat berujung temu.
Tuanmu sudah enggan.

Teguk langsung telan saja sendu itu.
Perihal pahit atau hambar memang wajar terasa begitu.
Berhenti main petak umpat di kepala.
Dengan segala ujar palsu, yang katanya sudah tak mau lagi menunggu.

Tabahlah kamu dalam pesakitanmu. Semoga segera bertemu Tuan baru.


Jakarta, 5 Juli 2013

Kamis, 26 Desember 2013

Bukan lagi jatuh

Cinta itu egois bukan? Aku tak mengiyakan ini karna setelahmu cintaku berhenti egois. Memlikimu yang kini kuanggap amat teregois. Kubuang jauh harap dan kukubur hidup-hidup banyak asa di halaman belakang. Berharap mereka tenang tak lagi gentayangan.
Cinta itu manis bukan? Aku tak mengiyakan ini karna setelahmu cintaku tak lagi manis. Semenjak kamu pergi tanpa selamat tinggal yang harinya kerap kali aku rayakan.
Cinta itu baik bukan? Aku tak mengiyakan ini karna setelahmu cintaku tak lagi baik. Banyak akibat yang entah apa sebabnya. Aku tahu Tuhan ciptakan semua bergandengan, setelah senang mungkin aku terbuang, setelah sedih mungkin aku menari lagi, setelah datang mungkin kamu pergi dan kadang bahkan berkali kepergiaan tak berpasangan dengan kepulangan. Mengulang hari perpisahan kita itu dulu jadi kebiasaanku, menghitung berapa hari kamu tak lagi di sisi.
Cinta itu menyenangkan bukan? Kali ini aku mengiyakan, cintamu memang menyenangkan meski terakhir kau gores beberapa pedih. Tetap menyenangkan.
Membolak-balik jam pasir, berkali, meski itu bukan pemberianmu atau punya kenang tentangmu pun. Kini aku seperti bagian kosong setelah butiran pasir itu terbalik, dan entah berapa lama waktu bagianku terisi lagi. Begitu kan cinta?
Aku tak pernah salahkan waktu, karna waktu bukan ibu yang mampu merawat luka lebam di dadaku.
Aku tak pernah salahkan Tuhan, karna Tuhan lebih tau dan paling tahu tentang dimana seharusnya keadaan.
Aku tak pernah salahkan cinta, karna cinta aku pernah mengenalmu.

Aku tak pernah salahkan kamu, karna kamu aku tahu bahwa hidupku bukan hanya untuk meratap tanpa berlalu. Karna kamu, aku tahu apa-apa saja hal tak baik yang harus aku tinggalkan bukan lupakan. Karna kamu, aku kini jadi perempuan baru yang akan jadi lebih baik untuk lelaki terbaikku.

Membiarkanmu

Aku membiarkanmu bahagia dengan seorang lain yang bukan aku.
Aku membiarkanmu menemukan seorang perempuan lain yang mampu tak sulut emosimu, yang mampu terus tetap betah bertahan dengan kepalamu yang berkali kuanggap lebih keras dari kepalaku. Yang pasti tetap itu bukan aku.
Aku membiarkanmu menggenggam genggaman lain yang bukan lagi genggamanku. Mengisi tiap sisi kosong di sela jemari yang tetap itu bukan jemariku.
Aku membiarkanmu mengulang lagi cerita cintamu dari awal dan kutahu itu bukan lagi jadi ceritaku. Merunut ulang rindu mulai lagi dari satu.
Aku membiarkanmu bersama seorang lain yang gemar merutukimu dengan ocehan sebal bahkan kesal yang mungkin suatu nanti akan kembali kau ulang karna merindu, dan pasti itu bukan aku.
Aku membiarkanmu kehujanan berdua dengan seorang lain yang pasti itu tetap bukan aku. Tak pedulikanmu kedinginan dengan tiap deruan air hujan yang tumpah, tak pedulikan perempuanmu yang kau beri perhatian hangat seperti dulu dan sekali lagi kupastikan itu bukan lagi denganku.
Hingga sampai satu nanti,
Aku tetap membiarkanmu jatuh. Merangkak seret langkah dengan suara parau yang memang berat atau sengaja kau berat-beratkan memanggil perempuanmu yang meninggalkanmu jauh. Kali ini sama seperti apa yang aku rasa dulu.
Hingga sampai entah kapan,
Aku tetap membiarkanmu merenung sendiri. Meninggalkan seorang perempuan yang amat mencintaimu. Membiarkannya begitu saja rapuh dan berkali bertahan karna benteng tegarnya runtuh sebab merindumu. Membiarkannya kehilangan rumah kedua yang dianggap nyaman setelah peluk kedua orang tuanya. Membiarkannya bangkit sendiri dengan abaikan tiap orang baru yang mau bantu berdiri. Sekarang ia sudah mampu bangkit lagi, bahkan tertawa, menertawakan keterpurukannya dulu sebab kehilanganmu. Meskipun entah berapa kali dia ucap bahwa ia baik-baik saja tanpamu, kali ini dia benar-benar baik adanya tanpa ada lagi cinta, untukmu. Aku.

Senin, 16 Desember 2013

Masih Sama

Aku menunduk. Tak menyeka airmata yang jatuh dari kantung mendung mataku lalu tergelantung di ujung hidungku. Aku terisak, menahan tangis agar tak seluruh pecah ruah. Tiap bulir airmata yang tumpah, di situ ada kerinduan yang tak bisa aku bantah.
Menyusuri tiap jalan yang selalu berhasil hadirkan kenang yang pernah ditorehkan, atau sekadar membaca kembali pesan singkatmu, atau tersesat dalam banyak ingatan yang penuh kamu. Bergandeng dengan rindu yang sesekali menggerutu minta dibunuh, agar berakhir setiap pesakitannya menunggu.
Aku bukan seorang yang kuat menahan cemburu, di persimpangan jalan lihat kamu menggandeng tangan Nonamu. Dulu ada jemariku di sela jemarimu, sekarang berubah tak lagi sesuai dengan cerita indahku. Kamu menemukan seorang yang jauh segala. Aku ini upik abu, yang berharap jadi Cinderela suatu waktu. Tapi kali ini tanpa sihir yang akan hilang tepat pukul dua belas malam.
Seandainya mencintai semudah tiup lilin di hari lahirku. Jauh-jauh hari sudah kulakukan sebelum merindu.
Aku menganggap ini jeda. Yang diberi Tuhan agar aku belajar menunggu dari kepergianmu. Entah ini jeda untuk apa, untuk mengantarkanmu kembali meski sekian lama pergi atau untuk mengantar seorang baru yang selama ini aku cari dalam diam beku.
Ah Tuhan, aku tak sekuat itu berlama-lama berdiam dengan cemburu sebagai teman sunyiku. Aku tak bisa lebih kuat menahan jatuhnya air mata melihat bahagianya tak lagi denganku. Seandainya hilang ingatan bisa memilih apa atau siapa saja yang ingin kulupakan, yaa seandainya saja.
Ah seandainya kamu tahu, kamu yang masih saja lupa jalan pulang. Kapan dalam dada jadi lapang? Tak ada rindu jalang atau kenangan yang lalu lalang. Tentang dua sosok pria yang satu pergi yang satu hilang.
Aku sedang berhenti melihat bahagiamu, meski sekadar dari lini masamu. Tak mau lagi-lagi dadaku dicibir oleh rindu basi. Aku benci. Menangis lagi terlalu pagi. Aku bosan. Mengurusi rindu sedini hari minta diurusi.
Tepat di angka tujuh belas, rinduku tewas.


Jakarta, 19 September 2013

Kamis, 12 Desember 2013

Aku lupa rasanya jatuh cinta

Aku lupa rasanya jatuh cinta. Sepeninggal sebuah rasa nyaman dan aman yang jadi satu dalam dada. Serasa sesak menyergap membunuh semua harap mentah-mentah, memaksa kutelan nyata bahwa ini hanya sekadar pernah ada.

Aku lupa rasanya jatuh cinta. Sepeninggal peluk paling hangat selepas hujan dingin akhir November kemarin.  Lenganmu tak lagi menyuruhku lelap pasrah ke dalamnya, kini hanya jadi sepasang hal yang aku rindu kedatangannya.

Aku lupa rasanya jatuh cinta. Sepeninggal senyummu berubah jadi semburat racun paling mematikan. Melihatnya pun mungkin sekarang aku tak mampu. Hatiku bukan sekadar perih hampir hancur lebih dari dua.

Aku lupa rasanya jatuh cinta. Sepeninggal kepalaku kehilangan dadamu. Dadaku kehilangan punggungmu. Tempatku pernah taruh dan sembunyikan doa dalam-dalam pada kebersamaan kita.

Aku lupa rasanya jatuh cinta. Sepeninggal lampu temaram kota yang iri dengan genggaman kita. Jalan lenggang yang tak ada lagi langkah kita. Sepasang mata penuh tatap bertabur cinta. Atau goresan tinta kisah paling manis berakhir miris.

Aku lupa rasanya jatuh cinta. Semenjak kantukku tak mudah datang, meski sudah seperempat malam kuangkat tangan rapalkan banyak doa, yang bohong tak ada namamu di setiap rapalnya. Bahkan beberapa derai airmata. Dadaku perih sakit meringis.

Aku lupa rasanya jatuh cinta. Sejak kakiku kehilangan arah. Sejak aku kehilangan rumah. Kamu rumahku, dan masih jadi tetap rumahku sampai saat ini. Tempat yang selalu kurindukan pulang, tempat aku hadiahi peluk dengan banyak rindu jalang.


Aku lupa rasanya jatuh cinta. Rasanya dijatuhi cintamu.

Rabu, 04 Desember 2013

Datang

Kalau kamu datang,
aku berjanji tidak akan bertanya kenapa baru sekarang.
Kalau kamu datang, aku berjanji tidak akan membuatmu berdiri
di depan pintu terlalu lama.
Kalau kamu datang, aku berjanji tidak akan bertanya,
hati mana saja yang sudah kau lewati untuk sampai di sini.
Karena dengan langkahmu, aku terbangun,
dari mati suri yang kunina-bobokan sendiri
kalau kamu datang, tolong jangan pergi.
aku lelah menjaga pintu.
Kalau kamu datang,
Aku berani sumpah, aku tenang.


Sadgenic, Rahne Putri