Minggu, 30 Maret 2014

#Fiksi

Hidup di bawah gemerlap lampu kota, di pinggiran jalan yang sebelumnya tak pernah aku pikir akan begini hidupku. Penjaja selangkangan, wanita mana yang mau sepertiku. Tukar beberapa desah dengan uang ratusan ribu yang mereka punya. Usiaku tak lagi belia seperti kebanyakan wanita di sini. Mereka masih muda, tanpa pupur dan gincu yang berlebih sebenarnya mereka tambah lebih cantik.
Aku tak tahu apa yang mereka fikirkan hingga akhirnya jatuh atau memang rela jatuh dalam dunia ini. Ada beberapa dari mereka yang memang terjebak jatuh, diajak mucikari yang berwajah peri. Mereka diiming-imingi kerja enak di kota, bukan di bawah lampu kota. Mereka dijanjikan akan kerja di kantor bukan kerja sambil buka kolor. Berbeda dengan aku yang memang harus jatuh dalam dunia ini, desakan ekonomi yang lebih gila dari desahan para pencari kesenangan selangkangan.
Anak dua dengan suami buaya yang sudah malas sekali aku fikirkan keberadaannya, terakhir aku melihatnya di daerahku mencari nafkah. Ia kurus, tangan sebelah kanan menggenggam botol yang ia genggam lebih erat daripada menggenggam kepercayaanku dulu. Ia pergi dengan gadis kaya usia jauh di bawahnya, sudahlah mau ia mati atau hidup pun bukan lagi urusanku.
Jakarta, aku sudah buntu sekali mau kemana bersama kedua anakku. Yang pertama, sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, sedangkan yang kedua masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku tak mau mereka tahu apa pekerjaanku, karna aku takut ia malu dengan apa-apa yang ada padaku. “Ibu jadi buruh pabrik malam, nak” begitu tiap kali mereka bertanya mengapa aku keluar rumah ketika kantuk merajai mata mereka, dan pulang ketika mereka sudah puas tidur semalaman.
Usiaku sudah tua, berkepala lima. Menjajakan diri dengan usia sesenja ini tak mudah, banyak sekali yang lebih muda dan lebih cantik dariku, yang lebih menjanjikan kepuasan ranjang yang lebih nikmat dariku. Hanya beberapa mereka yang mabuk dan sudah tak mampu menahan hasrat liar tapi kehabisan wanita muda yang ingin diajak bertukar keringat, dengan terpaksa mungkin mereka memilih jasaku. Semalam mungkin hanya tiga atau empat orang yang kulayani. Berbeda waktu pertama kali aku menjajakan diri bisa sepuluh ratusan ribu yang mampu aku kantongi setiap malam.
Entah penyakit apa yang sedang aku derita, kemaluanku sering terasa sakit ketika berhubungan badan dengan para hidung belang itu. aku tak menghiraukannya, aku lebih peduli dengan nasib masa depan kedua anakku daripada kesehatanku sendiri. Aku menahan sakitku sampai mereka menukar nikmat dengan beberapa lembar uang yang tak seberapa itu.
Akhir-akhir ini anakku yang pertama mulai melihat perbedaan tubuhku, aku semakin kurus. Aku tak pernah bercerita tentang apa yang aku rasa, tapi ia peka dengan raut yang tak lagi muda yang kupunya.
Sehabis mentari kembali datang, aku mengikuti malam yang sudah kembali pulang. Rumah yang sejak malam aku nanti, entah kenapa semalaman aku ingin segera bergegas pulang. Ragaku semakin lemah, aku sudah mulai pasrah, seandainya Tuhan memanggilku sekarang sepertinya aku belum siap, dengan segala dosa yang tak aku pikirkan sudah berapa tumpuk ketika bekerja. Aku melepas penatku di ranjang kayu usang yang sudah menemaniku pulas lelap waktu istirahat, pikiranku melayang tentang bagaimana masa depan anakku nanti kalau aku pergi. Tapi aku juga tak mampu menahan hidup berat yang sudah hampir tak mampu aku angkat. Sejenak dadaku serasa sesak, serasa ada yang mau keluar dari situ, semakin sesak dan tambah sesak. Aku lihat dua bayang yang memanggilku lekas cepat, entah siapa, kutahu anak-anakku berada di sampingku waktu itu, aku hanya mampu mendengar mereka menangis sambil berkali memanggiku.
AsshHaduala ilahailallah wa AsshHaduana muhammadurrasulullah.... Aku titip anak-anakku, aku pulang, Tuhan”

Rabu, 12 Maret 2014

Tanpa Isi

Kekasih, maaf kalau lagi-lagi aku ganggu waktu tenangmu ketika membaca ini. Pikiran yang lagi-lagi gugah rasa kantukku, ia datang tak lagi mengendap-endap dalam kepalaku. Dia serbu serang segala arah dengan prasangka-prasangka bedebah. Kata mereka memang maumu kebersamaan kita tak pakai cinta. Ah keparat sekali mereka.
Kekasih, aku sedang mencoba menanam prasangka-prasangka baik di kepala. Sudah mencoba. Tapi tetap saja hama yang entah darimana datangnya itu mengganggu sampai masa panen prasangka-prasangka itu tiba.

Sudah, abaikan saja mereka yang sedang melenggak-lenggok gembira di kepalaku. Kuberi mereka kesempatan bersenang-senang, karna aku punya satu yakin di dada bahwa kamu sendiri prasangka-prasangka baik itu, mereka tak mampu meracuni sampai situ.