Hidup
di bawah gemerlap lampu kota, di pinggiran jalan yang sebelumnya tak pernah aku
pikir akan begini hidupku. Penjaja selangkangan, wanita mana yang mau
sepertiku. Tukar beberapa desah dengan uang ratusan ribu yang mereka punya. Usiaku
tak lagi belia seperti kebanyakan wanita di sini. Mereka masih muda, tanpa
pupur dan gincu yang berlebih sebenarnya mereka tambah lebih cantik.
Aku
tak tahu apa yang mereka fikirkan hingga akhirnya jatuh atau memang rela jatuh
dalam dunia ini. Ada beberapa dari mereka yang memang terjebak jatuh, diajak
mucikari yang berwajah peri. Mereka diiming-imingi kerja enak di kota, bukan di
bawah lampu kota. Mereka dijanjikan akan kerja di kantor bukan kerja sambil
buka kolor. Berbeda dengan aku yang memang harus jatuh dalam dunia ini, desakan
ekonomi yang lebih gila dari desahan para pencari kesenangan selangkangan.
Anak
dua dengan suami buaya yang sudah malas sekali aku fikirkan keberadaannya,
terakhir aku melihatnya di daerahku mencari nafkah. Ia kurus, tangan sebelah
kanan menggenggam botol yang ia genggam lebih erat daripada menggenggam
kepercayaanku dulu. Ia pergi dengan gadis kaya usia jauh di bawahnya, sudahlah
mau ia mati atau hidup pun bukan lagi urusanku.
Jakarta,
aku sudah buntu sekali mau kemana bersama kedua anakku. Yang pertama, sudah duduk
di bangku Sekolah Menengah Atas, sedangkan yang kedua masih duduk di bangku
Sekolah Menengah Pertama. Aku tak mau mereka tahu apa pekerjaanku, karna aku
takut ia malu dengan apa-apa yang ada padaku. “Ibu jadi buruh pabrik malam, nak”
begitu tiap kali mereka bertanya mengapa aku keluar rumah ketika kantuk merajai
mata mereka, dan pulang ketika mereka sudah puas tidur semalaman.
Usiaku
sudah tua, berkepala lima. Menjajakan diri dengan usia sesenja ini tak mudah,
banyak sekali yang lebih muda dan lebih cantik dariku, yang lebih menjanjikan
kepuasan ranjang yang lebih nikmat dariku. Hanya beberapa mereka yang mabuk dan
sudah tak mampu menahan hasrat liar tapi kehabisan wanita muda yang ingin
diajak bertukar keringat, dengan terpaksa mungkin mereka memilih jasaku. Semalam
mungkin hanya tiga atau empat orang yang kulayani. Berbeda waktu pertama kali
aku menjajakan diri bisa sepuluh ratusan ribu yang mampu aku kantongi setiap
malam.
Entah
penyakit apa yang sedang aku derita, kemaluanku sering terasa sakit ketika
berhubungan badan dengan para hidung belang itu. aku tak menghiraukannya, aku
lebih peduli dengan nasib masa depan kedua anakku daripada kesehatanku sendiri.
Aku menahan sakitku sampai mereka menukar nikmat dengan beberapa lembar uang
yang tak seberapa itu.
Akhir-akhir
ini anakku yang pertama mulai melihat perbedaan tubuhku, aku semakin kurus. Aku
tak pernah bercerita tentang apa yang aku rasa, tapi ia peka dengan raut yang
tak lagi muda yang kupunya.
Sehabis
mentari kembali datang, aku mengikuti malam yang sudah kembali pulang. Rumah
yang sejak malam aku nanti, entah kenapa semalaman aku ingin segera bergegas
pulang. Ragaku semakin lemah, aku sudah mulai pasrah, seandainya Tuhan
memanggilku sekarang sepertinya aku belum siap, dengan segala dosa yang tak aku
pikirkan sudah berapa tumpuk ketika bekerja. Aku melepas penatku di ranjang
kayu usang yang sudah menemaniku pulas lelap waktu istirahat, pikiranku
melayang tentang bagaimana masa depan anakku nanti kalau aku pergi. Tapi aku
juga tak mampu menahan hidup berat yang sudah hampir tak mampu aku angkat. Sejenak
dadaku serasa sesak, serasa ada yang mau keluar dari situ, semakin sesak dan
tambah sesak. Aku lihat dua bayang yang memanggilku lekas cepat, entah siapa,
kutahu anak-anakku berada di sampingku waktu itu, aku hanya mampu mendengar
mereka menangis sambil berkali memanggiku.
“AsshHaduala
ilahailallah wa AsshHaduana muhammadurrasulullah.... Aku titip
anak-anakku, aku pulang, Tuhan”