Bukan
lagi soal kesenangan bahkan bahagia yang lupa aku hitung dan kubandingkan
dengan airmata yang sudah dan pernah jatuh. Kuterlalu terbawa terhanyut lebih
dalam pada tawa yang angkuh. Lupa dari mana aku pernah jatuh tak ada yang
merengkuh. Sebelum kedatangan seorang laki-laki sederhana yang ulurkan tangan,
tak berkata aku harus bangkit tapi ia sendiri yang menuntunku bangun jangan mau
lagi terjatuh mengais di bawah. Ia tak tawarkan berlian atau bahkan permata berkilau sana sini, tapi aku tetap terpesona padanya. Ia itu sinar yang paling
cahaya, menurutku.
Sekarang
bicara soal kehilangan. Sekali lagi aku bilang kalau selamanya tak pernah ada,
izinkan aku mencintainya seterusnya. Dan harus aku iyakan bahwa tiap pertemuan
sepaket dengan perpisahan. Tuhan, izinkan temu yang tak pernah aku tahu
hadirnya ini tak sepaket dengan pilihan perpisahan biasanya. Amin.
---
Kekasih,
kali ini aku ingin bicara denganmu. Tak perlu empat mata, karna ini kutulis
dalam surat terbuka. Tak aku hitung berapa langkah yang kita lewati sepanjang
kisah ini, aku tak peduli. Yang aku peduli tentang bagaimana langkah-langkah
kita ini tak jadi sekadar cerita. Aku mau sisa-sisa kita tak jadi sia-sia.
Kekasih,
kali ini aku ingin bicara denganmu. Perihal pahit hidup yang entah sudah
terlampau jauh berapa hari ke belakang di taman kota saat itu. Bahwa hidup
jatuh bahkan pahit sampai bahagia yang terpingkal itu harus disyukuri. Kamu bahagia
yang sudah lama aku syukuri dari awal. Dan tentang pahit, aku takut kalau nanti
akan ada luka mengangga yang bahkan waktu tak mampu jahit agar kembali rapat
lalu sembuh, waktu bukan ibu yang mampu merawat luka di manapun itu ya aku
tahu. Nyeri yang ngeri yang aku sendiri malas sekali membayangkan dan menerkanya sedari tadi.
Kekasih,
kali ini aku ingin bicara denganmu. Demi dan atas para ciuman para pendosa. Ciuman-ciuman
kita kemarin pakai cinta, bukan? Entah berapa kali harapan manis jatuh tepat di
antara bibirmu. Tak ada nafsu, hanya ada rindu yang diam-diam menderu. Di antara
nafas kita yang saling beradu, ada anak-anak rindu yang kutahu sudah siap lahir
tanpa ibu, karna ibunya sudah jelas-jelas mati dalam ciuman-ciuman kita.
Kekasih,
kali ini aku ingin bicara denganmu. Kamu tahu apa yang lagi-lagi aku risaukan
dalam hati? Ketakutanku tempo hari yang sudah sedikit aku
jabarkan dalam surat sebelumnya, ternyata belum juga lelah tinggal dalam
kepalaku. Mereka masih saja betah tinggal di sana, malah bawa teman dan
kawan-kawan ketakutan lainnya.
Kekasih,
aku takut. Aku takut kita itu sia-sia nanti di sisa-sisa. Kata-katamu di malam
kemarin yang katakan bahwa aku tak perlu risau, kamu tak akan meninggalkanku itu
malah kini buat hati lebih perih. Ketakutan yang aku sendiri pembuatnya. Dan pikiran-pikiran
racun aku pun sendiri penciptanya. Aku takut sekali kehilanganmu, kehilangan
kita. Karna kamu aku jadi tak mampu mandiri. Mandiri hidupi cinta yang kita
sendiri pencetusnya.
Kekasih,
jalan yang kita lalui nanti tak hanya jalan lurus tanpa ada kerikil-kerikil
tajam pengganggu. Bersediakah kamu tetap erat menggenggam tanganku bahkan lebih
erat, dan tetap perjuangkan sampai tamat sisa bersamaku?
Perihal
kehilangan. Pernah aku lukis warna dinding di kamarku dengan tinta airmata. Pernah
aku tulisi langit-langit dengan sumpah serapah cinta yang aku teriaki depan
wajahnya. Malah kamu datang, dan aku rela dijatuhi cinta (lagi), tersenyum
manis lagi padanya. Kekasih, kamu tak akan membuatku meneriaki cinta dengan
kata bedebah-bedabah yang memekik telinga, kan?
Kekasih,
kalau-kalau nanti kamu lelah atau jemu berada pada satu jalur yang sama
denganku, katakan. Soal kehilangan yang aku tulis di atas akan aku ganti dengan
kepergian. Dan tetap kupercaya takdir Tuhan itu lebih indah dari nasib yang
dulu pernah aku terka-terka.
Kekasih,
aku mencintai awalan sampai akhiranmu. Semoga cinta tetap diberi imbuhan di-
dan me-, selalu.
Dari,
Perempuan
yang Penuh Sekali Isi Kepalanya.