Surat
ini kubuat bukan karna lagi-lagi aku merindumu, hanya teringat bahwa aku belum
ucap terima kasih di sela pertemuan terakhir kita. Hmm maaf bukan kita, saya dan
Tuan. Terima kasih untuk apa? Untuk segala, dari tawa sampai sisa, dari air
mata bahkan luka. Maaf karna saya menyebut ‘aku’ di awal surat ini.
Kepada
Tuan arogan yang saya hormati, bagaimana kabar Tuan hari ini? Pasti baik-baik
saja dan harus baik-baik saja. Bagaimana pun hati dan hari Tuan? Sekali lagi
pertanyaan yang saya buat dan jawab sendiri, pasti baik-baik saja dan harus
baik-baik saja.
Kepada
Tuan arogan yang saya hormati, sudah mengertikah Tuan bahwa cinta bukan lagi
untuk main-main di usia Tuan yang sudah lebih beberapa tahun di atas angka dua
puluh? Seharusnya Tuan lebih tahu itu dari saya. Anggap saja cerita saya dan
Tuan kemarin itu hanya persinggahan sementara untuk dapat cinta baru yang lebih
baik di kemudian. Tuan sudah lebih dulu mendapatkan. Saya pun sudah kali ini.
Kepada
Tuan arogan yang saya hormati, kali ini saya tak akan berharap satu temu berdua
dengan Tuan lagi. Kalau-kalau Tuhan mau pertemukan kita lagi, saya harap Tuan
sudi perkenalkan Nona yang sekarang jadi ratu nomor satu di hati sekeras batu
milik Tuan. Dan saya akan dengan senang hati perkenalkan lelaki saya, ia tak
semewah Tuan tapi ia punya hati lebih megah dari milik Tuan.
Kepada
Tuan arogan yang saya hormati, maaf kalau surat ini lancang tertulis. Saya perjelas
lagi surat ini tertulis bukan karna saya sedang berpesta pora dengan banyak
airmata seperti lalu saya sedang merindu Tuan. Apalagi karna saya sedang
bercumbu mesra dengan kenangan-kenangan Tuan dulu. Tidak, Tuan. Tidak sama
sekali. Sebelum ini ada belasan surat tak terkirim yang tertulis untuk Tuan,
itu dulu ketika saya masih tunduk pada cinta yang saya banggakan adanya. Malah sekarang
saya hanya mampu berdecap heran mengapa saya sebegitu mencintai Tuan dulu. Tuan
berlimpah materi? Iya. Tuan berparas tampan? Iya. Tuan punya hati lega? Tidak. Pertanyaan
terakhir pernah saya lupakan saat mencintai Tuan.
Kepada
Tuan arogan yang saya hormati, sudah berapa detik dan detak yang terlewat? Sudah
berapa ratus bahkan ribu jengkal yang tak terhitung lagi semenjak perpisahan
pagi itu? Sudah berapa doa saya yang jadi nyata di semesta Tuan? Saya pernah
enggan mencintai dan tak mau buka hati lagi setelah kepergian Tuan. Tahu? Pasti
tahu dan Tuan malah makin besar kepala, saya tahu itu. Dan saya masih menutup
mata soal itu dan terus berlanjut mencintai. Itu kemarin Tuan, sebelum lelaki
saya menepuk pundak saya hapus segala sihir akan indah Tuan di diri saya.
Kepada
Tuan arogan yang saya hormati, terima kasih atas segala. Dari tawa sampai sisa,
dari air mata bahkan luka. Terima kasih sudah melepas saya. Karna itu saya
ditemukan oleh seorang lelaki yang hatinya luas lega dengan banyak cinta untuk
saya. Ia merangkul saya lebih hangat dari Tuan. Ia tak mirip seperti Tuan, yang
sering dielu-elukan banyak pasang mata dengan baik dan lebih oleh segala. Lelaki
saya sederhana, dan saya suka. Lelaki saya punya sekali banyak tulus di
dadanya, dan saya cinta.
Kepada
Tuan arogan yang saya hormati, maaf yang entah sudah sekian kali pernah
terucap. Tentang ucapan Tuan yang katakan bahwa tak ada yang mampu terima saya
yang penuh keras kepala. Lelaki saya tak pernah katakan saya keras kepala,
Tuan. Katanya, perkara keras kepala itu hanya perihal menyikapi. Dan sekali
lagi, Tuan kalah dengan lelaki saya. Maaf juga karna saya sudah berhenti menyebut
nama Tuan di dalam rentetan doa rutin yang saya ucap, bukan karna saya tak tahu
terima kasih. Doa saya untuk Tuan sudah habis menguap jadi satu bersama air
mata sia-sia yang jatuh kali terakhir untuk Tuan.
Kepada
Tuan arogan yang saya hormati. Jangan lupa bahagia. Rayakan tiap kebaikan yang
jatuh pada Tuan, hargai tiap inci dari mereka.
Salam
hormat,
Yang
Tak Teringat
PS: Lelakiku kamu tetap jadi yang selalu aku ingat, jangan cemburu Tuan arogan hanya masa lalu. :*
PS: Lelakiku kamu tetap jadi yang selalu aku ingat, jangan cemburu Tuan arogan hanya masa lalu. :*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar