Sabtu, 08 Februari 2014

Tuan Arogan yang Saya Hormati


Surat ini kubuat bukan karna lagi-lagi aku merindumu, hanya teringat bahwa aku belum ucap terima kasih di sela pertemuan terakhir kita. Hmm maaf bukan kita, saya dan Tuan. Terima kasih untuk apa? Untuk segala, dari tawa sampai sisa, dari air mata bahkan luka. Maaf karna saya menyebut ‘aku’ di awal surat ini.
Kepada Tuan arogan yang saya hormati, bagaimana kabar Tuan hari ini? Pasti baik-baik saja dan harus baik-baik saja. Bagaimana pun hati dan hari Tuan? Sekali lagi pertanyaan yang saya buat dan jawab sendiri, pasti baik-baik saja dan harus baik-baik saja.
Kepada Tuan arogan yang saya hormati, sudah mengertikah Tuan bahwa cinta bukan lagi untuk main-main di usia Tuan yang sudah lebih beberapa tahun di atas angka dua puluh? Seharusnya Tuan lebih tahu itu dari saya. Anggap saja cerita saya dan Tuan kemarin itu hanya persinggahan sementara untuk dapat cinta baru yang lebih baik di kemudian. Tuan sudah lebih dulu mendapatkan. Saya pun sudah kali ini.
Kepada Tuan arogan yang saya hormati, kali ini saya tak akan berharap satu temu berdua dengan Tuan lagi. Kalau-kalau Tuhan mau pertemukan kita lagi, saya harap Tuan sudi perkenalkan Nona yang sekarang jadi ratu nomor satu di hati sekeras batu milik Tuan. Dan saya akan dengan senang hati perkenalkan lelaki saya, ia tak semewah Tuan tapi ia punya hati lebih megah dari milik Tuan.
Kepada Tuan arogan yang saya hormati, maaf kalau surat ini lancang tertulis. Saya perjelas lagi surat ini tertulis bukan karna saya sedang berpesta pora dengan banyak airmata seperti lalu saya sedang merindu Tuan. Apalagi karna saya sedang bercumbu mesra dengan kenangan-kenangan Tuan dulu. Tidak, Tuan. Tidak sama sekali. Sebelum ini ada belasan surat tak terkirim yang tertulis untuk Tuan, itu dulu ketika saya masih tunduk pada cinta yang saya banggakan adanya. Malah sekarang saya hanya mampu berdecap heran mengapa saya sebegitu mencintai Tuan dulu. Tuan berlimpah materi? Iya. Tuan berparas tampan? Iya. Tuan punya hati lega? Tidak. Pertanyaan terakhir pernah saya lupakan saat mencintai Tuan.
Kepada Tuan arogan yang saya hormati, sudah berapa detik dan detak yang terlewat? Sudah berapa ratus bahkan ribu jengkal yang tak terhitung lagi semenjak perpisahan pagi itu? Sudah berapa doa saya yang jadi nyata di semesta Tuan? Saya pernah enggan mencintai dan tak mau buka hati lagi setelah kepergian Tuan. Tahu? Pasti tahu dan Tuan malah makin besar kepala, saya tahu itu. Dan saya masih menutup mata soal itu dan terus berlanjut mencintai. Itu kemarin Tuan, sebelum lelaki saya menepuk pundak saya hapus segala sihir akan indah Tuan di diri saya.
Kepada Tuan arogan yang saya hormati, terima kasih atas segala. Dari tawa sampai sisa, dari air mata bahkan luka. Terima kasih sudah melepas saya. Karna itu saya ditemukan oleh seorang lelaki yang hatinya luas lega dengan banyak cinta untuk saya. Ia merangkul saya lebih hangat dari Tuan. Ia tak mirip seperti Tuan, yang sering dielu-elukan banyak pasang mata dengan baik dan lebih oleh segala. Lelaki saya sederhana, dan saya suka. Lelaki saya punya sekali banyak tulus di dadanya, dan saya cinta.
Kepada Tuan arogan yang saya hormati, maaf yang entah sudah sekian kali pernah terucap. Tentang ucapan Tuan yang katakan bahwa tak ada yang mampu terima saya yang penuh keras kepala. Lelaki saya tak pernah katakan saya keras kepala, Tuan. Katanya, perkara keras kepala itu hanya perihal menyikapi. Dan sekali lagi, Tuan kalah dengan lelaki saya. Maaf juga karna saya sudah berhenti menyebut nama Tuan di dalam rentetan doa rutin yang saya ucap, bukan karna saya tak tahu terima kasih. Doa saya untuk Tuan sudah habis menguap jadi satu bersama air mata sia-sia yang jatuh kali terakhir untuk Tuan.
Kepada Tuan arogan yang saya hormati. Jangan lupa bahagia. Rayakan tiap kebaikan yang jatuh pada Tuan, hargai tiap inci dari mereka.

Salam hormat,

Yang Tak Teringat

PS: Lelakiku kamu tetap jadi yang selalu aku ingat, jangan cemburu Tuan arogan hanya masa lalu. :*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar