Teruntuk
yang pernah kusebut kebanggaan.
Hanya
ada tiga hal yang ingin aku sampaikan padamu. Tunggu.
Pertama,
perihal kamu yang selalu kubanggakan, kamu tetap jadi kebanggaan meski sekarang
tidak. Perkara-perkara yang aku anggap sepele ternyata sekarang malah mengiris
nadiku perlahan. Aku tak mau itu menerus, lalu aku mati dalam kelelahan. Terima
kasih sudah beri segala semua mau dan mampumu. Dan maaf kutak bisa beri segala
dan semua mau dan mampuku. Semua sudah satu garis sebelum akhirnya DUAR!
meledak! Kepalaku banyak sekali hal yang malah balik menuntutku sekarang. Soal
kejenuhan yang kamu katakan entah berapa puluh hari lalu, entah kamu sengaja
atau bahkan tak sengaja mengatakannya. Hati bahkan logika bertengkar saat itu,
dan jatuh pada satu keputusan bahwa aku mengalah, menahan amarah jauh paling
bawah. Sekarang? Tetap saja aku seorang yang tak mau disepelekan. Soal amarahmu
pun tempo hari, puncak amarahku pun. Percaya kan bahwa kepala dan egoku lebih
keras dari segala karang yang pernah kita lihat bersama dulu?
Kedua,
perihal kamu yang selalu kubanggakan, kamu tetap jadi kebanggaan meski sekarang
tidak. Perkara diamku yang mungkin kamu tak terima. Amarahku sudah redam,
kusiram prasangka paling dingin yang pernah ada, dan itu hasilnya. Diamku agar
amarahku tak lagi buncah. Segala tuduhan yang dulu kamu beri, entah sengaja
atau tidak kamu mengatakannya. Setia itu sakral, bagiku. Kalau kamu menyuruhku
pergi tanpa kupikir dua kali aku pergi, perkara mencari pasar malam lain yang
kamu pun setuju aku melakukannya kemudiaan kamu datang dengan belati tuduhan
paling tajam. Percaya kan bahwa aku dan hatiku bukan seonggok barang mainan
yang mampu kamu simpan di gudang kalau tak perlu?
Dan
terakhir, perihal yang mesti kamu tahu, bahwa cinta dan benci itu hanya ada satu
garis tipis pembatasnya. Aku amat mencintaimu dulu, dan sekarang aku ada tepat
di satu garis pembatas itu. aku tak benci, hanya mungkin enggan untuk kembali
ke posisi awal ku ada.
Sincerely, Me.