Selasa, 24 Juni 2014

You Can Call Me Bastard

Teruntuk yang pernah kusebut kebanggaan.
Hanya ada tiga hal yang ingin aku sampaikan padamu. Tunggu.
Pertama, perihal kamu yang selalu kubanggakan, kamu tetap jadi kebanggaan meski sekarang tidak. Perkara-perkara yang aku anggap sepele ternyata sekarang malah mengiris nadiku perlahan. Aku tak mau itu menerus, lalu aku mati dalam kelelahan. Terima kasih sudah beri segala semua mau dan mampumu. Dan maaf kutak bisa beri segala dan semua mau dan mampuku. Semua sudah satu garis sebelum akhirnya DUAR! meledak! Kepalaku banyak sekali hal yang malah balik menuntutku sekarang. Soal kejenuhan yang kamu katakan entah berapa puluh hari lalu, entah kamu sengaja atau bahkan tak sengaja mengatakannya. Hati bahkan logika bertengkar saat itu, dan jatuh pada satu keputusan bahwa aku mengalah, menahan amarah jauh paling bawah. Sekarang? Tetap saja aku seorang yang tak mau disepelekan. Soal amarahmu pun tempo hari, puncak amarahku pun. Percaya kan bahwa kepala dan egoku lebih keras dari segala karang yang pernah kita lihat bersama dulu?
Kedua, perihal kamu yang selalu kubanggakan, kamu tetap jadi kebanggaan meski sekarang tidak. Perkara diamku yang mungkin kamu tak terima. Amarahku sudah redam, kusiram prasangka paling dingin yang pernah ada, dan itu hasilnya. Diamku agar amarahku tak lagi buncah. Segala tuduhan yang dulu kamu beri, entah sengaja atau tidak kamu mengatakannya. Setia itu sakral, bagiku. Kalau kamu menyuruhku pergi tanpa kupikir dua kali aku pergi, perkara mencari pasar malam lain yang kamu pun setuju aku melakukannya kemudiaan kamu datang dengan belati tuduhan paling tajam. Percaya kan bahwa aku dan hatiku bukan seonggok barang mainan yang mampu kamu simpan di gudang kalau tak perlu?
Dan terakhir, perihal yang mesti kamu tahu, bahwa cinta dan benci itu hanya ada satu garis tipis pembatasnya. Aku amat mencintaimu dulu, dan sekarang aku ada tepat di satu garis pembatas itu. aku tak benci, hanya mungkin enggan untuk kembali ke posisi awal ku ada.


Sincerely, Me.