:
Kepada, D.
Tuan,
aku pernah diam memandang dalam-dalam pada matamu yang legam, entah dengan sihir
apa yang mampu membuat senyumku melengkung hanya dengan memandang. Apa saja
indah yang sudah kaulihat, Tuan?
Tuan,
aku pernah diam memandang dalam-dalam pada matamu yang hitam, entah dengan cara
apa yang mampu membuatku rela jatuh untuk mencinta. Siapa saja yang sudah
kaubuat jatuh cinta, Tuan?
Tuan,
aku pernah diam memandang dalam-dalam pada matamu yang gelap, entah lewat jalan
apa kamu mampu masuk dalam bahkan terlalu dalam pada hatiku kini. Bagaimana kamu
pinta pada Tuhan perkara aku yang selalu saja merindumu, Tuan?
Tuan,
aku perempuan yang kaubuat bungkam, meski lidahmu bicara panjang lebar, cerita
sana-sini tentang apa saja. Malah kepalaku yang ramai, perihal dan perkara
apa-apa tentangmu.
Selengkung
senyummu pernah membuatku berpikir keras. Sampai kapan senyummu itu ada untukku
dan karenaku. Dan paling perihnya lagi, malah aku cemburu, masa lalumu pernah
lebih dulu memiliknya sebelum aku.
Tuan,
yang bersenyum manis. Aku tak pernah tahu sampai mana langkah kita selalu
bersama. Yang kutahu entah suka atau duka mampu jadi satu cerita sempurna. Kita.
Tuhan punya rencana yang tak sekedar wacana untuk kita kan, Tuan? Yakinkan aku
sekali lagi bahwa segalamu memang ada untukku, seterusnya.
Tuan,
bersediakah kamu tetap mencintaimu beratus hari lagi setelah ini?
Dari,
H.
Membaca suratmu dengan secangkir kopi memang begitu nikmat, tak mampu berhenti :)
BalasHapusKopi memang sering kali bawa damai yang tak kamu sangka, Tuan. Terima kasih sudah meluangkan waktu membaca suratku. :)
BalasHapus