Selasa, 06 Agustus 2013

Teruntuk, Kamu. (Part II)

Ingatanku sudah jengah hadirkan kembali semua kenangan dulu. Isi kepalaku pun, sudah hampir bosan teringat apa-apa saja tentangmu. Tapi tak pernah berhenti mereka putar kembali semua memori yang ada kamu.
Terlepas dari aku yang masih merindu, mungkin di sana sekedar ingat pun kamu enggan. Ada satu malam, bulan berbisik padaku dia menanyakan kemana perginya Tuan yang aku cinta yang dulu sering aku ceritakan padanya. Aku hanya menjawab kalau Tuan itu sedang berlayar lalu mati tenggelam. Tuannya itu kamu. Aku harap itu segera jadi kenyataan, kamu lekas pergi jauh dari ingatan. Semoga. Amin.
Redam perlahan rindu yang menggebu, usap dada cemburu agar reda tak lagi memburu. Boleh sebentar aku lihat dan masuk ke pedalaman hatimu, cari makam cintaku dulu, ingin kembali aku ziarahi tanpa sendu. Akan aku bawa beberapa kamboja bersama beberapa doa baru yang akan aku eja. Tak lupa bawa mawar, mengenang dulu cintaku mati kehabisan penawar.
Selasar demi selasar teras aku temui beberapa anak rindu hampir mati lemas. Anak rindu mana yang mampu terus menahan. Menunggu Tuannya datang lagi beri rengkuhan. Sebagian anak rindu memilih bunuh diri berdiri di bawah hujan menangis tapi tak mengais. Memilih lebih rela dulu mati kedinginan dalam pekat yang dibawa malam.
Boleh kusebut ini sebagian puisiku, puisi patah hatiku. Pernah karna kedatanganmu puisi patah hatiku temui jalan buntu. Dibutakan cinta baru, cintamu katanya. Serpihan hati yang aku susun kembali hati-hati, kutitipkan padamu. Malah kamu kembalikan tak utuh lagi, berserakan.
Mungkin cintaku salah alamat, esok hari akan aku jemput dengan keranda mayat. Karna aku yakin ia tak mungkin ku temui selamat. Tuhan tiupkan nyawanya itu kamu. Lalu kamu pergi, bagaimana dia mampu lagi untuk bertumpu?
Mungkin rinduku salah tujuan, esok hari akan aku jemput ketika hujan. Karna aku ingin samarkan tangisnya di balik hujan. Tuan yang pertama kali ia lihat itu kamu. Lalu terpisahkan, bagaimana dia mampu tersenyum tulus tanpa beban?

            Pikiranku sudah kelelahan, menghitung seberapa jauh jarak yang buat kita tak lagi berjumpa. Atau menghitung seberapa lama waktu kita tak saling menyapa. Apalagi hati, simpan rapat-rapat tangis dalam peti, rawat baik-baik rindu dalam laci. Satu lagi harap baru, datang satu hari dimana hati tak lagi merindu. Lalu kepala yang mulai melupa, pudarkan satu-satu ingatan bahkan namamu dalam setiap rapalan doa. Semoga.


Rabu, 7 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar